01. Titik Beku

1.2K 105 10
                                    

Seseorang membuka matanya. Cahaya matahari dari ventilasi menggelitik kecil. Membuat mata hazelnya menyipit tak suka. Ia tutupi wajah pucat itu dengan telapak tangan.

Hangat.

Ternyata cahaya matahari itu masih terasa hangat. Berbeda dengan dirinya yang selalu dingin. Ia berusaha duduk. Kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin tak tersentuh. Menghirup udara sesaat, lalu tertunduk lagi.

Hatinya sakit ketika pagi ini matanya masih bisa terbuka. Harusnya dia bangun di sebuah tempat gelap bernama alam baka. Bukannya tempat yang terlihat nyaman ini namun nyatanya lebih menakutkan dibanding tempatnya kematian berada.

Ia mengusap wajahnya. Matanya melirik beberapa kapsul putih yang tercecer di lantai. Seingatnya dia sudah meminum banyak sekali obat tidur. Kenapa dia masih selamat?

Helaan napas lelah keluar dari celah mulutnya. Ia lupa ini sudah percobaan bunuh dirinya yang keberapa. Yang pasti, Tuhan masih membencinya. Buktinya, dia masih dibiarkan hidup di dunia ini. Dunia yang membuatnya amat sangat sakit dan sesak.

Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Dia menghela napas sejenak, lalu mulai beranjak bangun dari tempat tidurnya. Sekarang saatnya menjalani hidupnya yang penuh kepura-puraan. Lagi.

...

Hermione, namanya. Nama yang cantik, sebanding dengan dirinya yang memang cantik. Rambut cokelat ikal terurai indah membingkai wajahnya. Wajah kecil mirip buah plum dengan pipi kemerahan. Mata cokelat tajam membuatnya terlihat galak namun menggemaskan.

Tapi, siapa bilang punya wajah cantik berarti disukai banyak orang? Itu tidak berlaku untuk Hermione. Dia selalu sendiri. Selalu menutup diri karena menganggap tidak ada orang yang bisa dan pantas berteman dengannya. Dia itu gadis cantik namun egois. Dia harus menjadi nomer satu. Tidak boleh ada yang mengalahkannya. Tidak boleh.

Namun, bukankah setiap perbuatan pasti punya alasan? Kenapa seorang Hermione tumbuh menjadi anak egois yang hanya mementingkan dirinya? Apa ada orang yang berpikir begitu? Apa ada yang peduli?

"Bagaimana ujian matematikamu?" sebuah suara berat nan dingin menghentikan langkah Hermione. Kepala yang tadi terangkat sombong, kini tertunduk dalam. Ia mematung. Kedua tangannya saling memilin satu sama lain.

"Kata Mr. Gustaf hasilnya sudah dibagikan. Mana?"

Dengan gemetar, Hermione mengeluarkan secarik kertas. Dia menyerahkan kertas hasil ujian matematikanya pada ibunya yang menatap dingin. Sedangkan sang ayah menatap keduanya dengan tak kalah menakutkan.

Sang ibu terlihat gusar setelah melihat kertas tersebut. Ia menarik lengan Hermione kencang, dan memaksanya untuk duduk di sampingnya.

"Salah dua?! Kamu belajar atau nggak? Ibu sudah bilang kalau ujian kamu kali ini harus sempurna!!"

Hermione hanya diam. Sang ayah melihat hasil ujian, lalu menghela napas panjang.

"Siapa yang menjadi murid terbaik kali ini?"

Hermiome menatap takut ayahnya, "D-draco."

"Anak baru itu?" katanya dingin. Hermione mengangguk gelisah.

"Bodoh!" sang ibu memukul belakang kepala Hermione dengan kencang. "Bisa-bisanya kamu kalah dari anak pesaing bisnis ayahmu!"

Lagi-lagi Hermione hanya diam. Dia sudah biasa. Sakit di kepala dan hatinya sudah menjadi makanan sehari-harinya.

"Saya nggak mau tahu. Kamu harus bicara pada pihak sekolah. Anak ini harus mendapat nilai sempurna. Bagaimanapun caranya."

"Iya, sayang. Nanti aku akan bicara dengan wali kelasnya."

Hermione makin tertunduk dalam.

Bodoh. Hermione bodoh. Kenapa mengalahkan Draco saja kau tidak bisa? Padahal anak itu hanya anak baru sok pintar yang bahkan tidak mengikuti mata pelajaran tambahan apapun. Tapi kenapa dia bisa mengalahkan seorang Hermione? Semua ini karena Draco.

Andai.. Andai lo nggak ada, Draco.

...

Gue dengar, katanya ibunya datang ke sekolah. Ibunya minta agar nilai matematikanya di ubah. Sekarang nilainya sama kaya Draco.

Wah, uang bisa beli segalanya ternyata. Apa dia nggak tahu malu ya?

Biar gimanapun lebih pintar Draco, dibanding nenek sihir itu.

Dia dan keluarganya bener-bener menyedihkan.

Hermione menutup mata seraya menarik napas dalam. Telinganya benar-benar panas mendengar celotehan orang-orang di belakangnya. Ia tahu mereka sengaja mengeraskan suaranya agar dia dengar.

Dengan emosi memuncak, Hermione menghampiri sekumpulan anak perempuan yang sedang bergosip tentangnya. Semuanya jadi hening di kelas itu.

"Lo ngomong apa?"

Seorang anak perempuan dengan potongan rambut bergaya bop lumayan terkejut melihat kedatangan Hermione. Biasanya gadis berwajah dingin ini hanya duduk diam ketika banyak orang bergosip tentangnya. Tapi kenapa hari ini berbeda?

"Eh, bukan apa-apa." gagapnya. Hermione memutar bola mata. Pengecut, batinnya.

"Eh, Hermione. Kita denger lo ngubah nilai matematika ya?" ucap seseorang dibelakang. Hermione hanya diam. Menatap orang itu dengan sinis.

Seorang gadis dengan pony tail berjalan mendekat. Berdiri menantang dihadapan Hermione. "Keluarga lo itu memang kaya. Tapi nggak tahu malu. Bisa-bisanya nyogok sekolah."

Hermione memanas, "Jangan berani-berani lo ngejelek-jelekin keluarga gue."

"Memang bener 'kan? Gue pernah lihat ibu lo ngemis sama kepala seko-"

PLAKK!

Napas Hermione memburu. Tangannya perih akibat menampar orang di depannya. Kini semuanya diam. Menatap dua perempuan di hadapan mereka dengan penasaran.

"BERANI BANGET LO!" Gadis berponi itu maju dan meraih tangan Hermione. Namun gadis dingin itu menepisnya hingga orang itu terjatuh.

Dagunya terangkat, tatapan matanya tajam menusuk dan mengintimidasi. Jangan kira orang yang dijauhkan secara sosial akan selalu merunduk jika ditindas. Hermione berbeda. Selama ini dia diam bukan karena takut, tapi karena dia malas menanggapi omongan tak berarti.

Namun kali ini, dia tidak akan tinggal diam.

"Udah Pans, jangan dilawan." ucap seorang teman gadis berponi yang ternyata bernama Pansy itu.

Pansy berdiri dengan emosi. Dia menggigit bibirnya, lalu menjambak rambut Hermione.

Lalu apalagi yang terjadi?

Ributlah kelas itu. Pansy dan Hermione tidak ada yang mau mengalah. Beberapa berusaha menengahi, namun tidak berhasil. Beberapa lagi malah sibuk memvideokan. Tipikal anak zaman sekarang.

Hermione kalut. Dia mendorong Pansy hingga anak itu jatuh membentur meja. Kepalanya berdarah. Pansy menangis histeris. Semuanya pun serentak berteriak.

Seketika Hermione sesak. Tangannya gemetar.

Gerak-gerik orang yang tergopoh-gopoh menolong Pansy seperti layaknya film tanpa suara. Pun sama dengan film ber-efek slow motion.

Hermione melihat mulut Pansy masih bergerak-gerak liar seakan meneriakinya. Begitu juga orang-orang yang menunjuk-nunjuk dirinya dengan tatapan benci.

Lalu semuanya berputar. Film tadi berubah jadi hitam.

.
.
.

Dan, hening.

[]

Serendipity [Dramione]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang