04. Let Me Be Your Friend

546 82 4
                                    

Bagi Hermiome, dunia itu hanyalah tempat bagi manusia untuk saling menipu. Saling berpura-pura menjadi orang paling bahagia atau tersakiti untuk mendapatkan simpati. Setiap air mata yang pernah dia lihat, hanyalah topeng bagi senyum-senyum meremehkan setiap orang.

Dan jangan kira Hermione hidup dengan kejujuran. Sedari kecil, dia sudah terbiasa tersenyum walaupun hatinya tidak mau. Harus pura-pura memuji walau nyatanya Ia menghina di dalam hati. Dan dia sudah terbiasa akan hal itu.

Begitupun dengan menutupi setiap tangisnya di balik senyum manisnya.

"Wah, jadi ini Hermione? Sudah besar ya sekarang."

Hermione mengangguk seraya tersenyum malu-malu layaknya anak anjing. Di depan banyak orang, khususnya teman-teman ayah dan ibunya, Ia dipaksa menjadi anak manis dan terkesan amat sangat bahagia.

Cantik, pintar, kaya. Sempurna.

Semua iri pada Hermione. Semua ingin menjadi Hermione. Semua ingin anak-anaknya tumbuh seperti Hermione. Semua ingin memiliki anak seperti Hermione. Semua membuat Hermione laksana batu giok yang bersinar terang diantara kerikil kecil.

Namun, semua orang tidak tahu kalau orang yang mereka dambakan nyatanya tidak pernah sekalipun ingin menjadi dirinya sendiri. Ia ingin menjadi orang lain. Ingin bebas dan terlepas dari bayang-bayang seorang Hermione.

"Anak Saya nanti akan melanjutkan kuliah ke luar negeri. Bagaimanapun dia yang akan mewariskan perusahaan." Thomas merangkul pundak Hermione dan mengelus rambutnya dengan lembut.

"Kamu beruntung Hermione punya orang tua seperti ayahmu. Hidup kamu nggak akan menderita." kekeh seorang tamu.

Lagi-lagi Hermione hanya tersenyum. Ia harus menahan ringisan tatkala ayahnya menekan pundaknya yang lebam akibat pukulan tangannya.

Tidak ada yang tahu kalau dibalik baju mahal yang Ia kenakan, tersembunyi luka-luka yang harus Ia tutupi dengan elegan.

"Kamu ambil minum aja, Ayah mau ke teman ayah yang lain." ujar sang ayah yang memang selalu lembut jika di depan orang.

Hermione menurut. Dia berjalan menjauh. Sambil memperhatikan kedua orang tuanya yang sangat cakap bergaul dengan orang-orang.

Senyum mereka begitu terlihat bahagia. Andai.. andai mereka bisa tersenyum seperti itu sekali saja untuk Hermione. Dengan tulus. Itu pun sudah sangat cukup.

"Hermione?"

Langkah gadis itu terhenti. Ia mendongak dan berjengit ketika melihat siapa orang di depannya.

"Harry?"

"Lo kesini juga? Gue kira cume gue anak muda yang dipaksa ikut." keluh laki-laki itu.

Mereka sekarang tengah berada di pesta yang diadakan oleh salah satu petinggi negara. Karena orang tua Hermione adalah orang penting dan berpengaruh di kota, makanya keluarga mereka datang.

"Hahh, bosen banget di sini. Lo tahan lama-lama di sini?" keluh Harry lagi.

hermione hanya mengedikkan bahu. Berusaha tak acuh walaupun nyatanya jantungnya berdebar tak karuan.

"Lo mau ikut? Gue mau ke taman. Daripada di sini nggak tahu harus apa."

Hermione pura-pura berpikir. Namun akhirnya dia menaikkan alisnya tanda setuju. Gadis itu berjalan lebih dulu meninggalkan Harry tanpa sepatah kata.

Harry geleng-geleng, namun tetap mengikuti Hermione menuju taman.

.

"Lo memang selalu begini ya?"

Hermione menoleh tanda tak mengerti dengan pertanyaan Harry. Mereka sedari tadi hanya diam sembari duduk di ayunan.

"Begini apa?"

Harry tampak berpikir sebentar. Ia menatap langit malam sejenak, lalu melihat Hermione seraya menghela napas.

"Hmm, lo tertutup banget. Gue nggak pernah ngeliat lo main sama anak-anak yang lain."

Hermione menghela napas pelan, "Gue nggak punya temen."

"Kenapa?"

"Nggak butuh."

Harry terhenyak. Ia menghentikan gerakan kakinya yang mengayunkan ayunan. Diam tak mengerti sambil menatap Hermione yang nampak santai-santai saja.

"Ke.. napa?" tanyanya lagi seakan tak puas dengan jawaban itu. Bagaimana bisa ada orang yang bisa hidup tanpa orang lain?

"Kenapa apanya?"

"Kenapa lo nggak butuh temen?"

Hermione diam sejenak, "Karena nggak penting."

Harry tak habis pikir. Dia terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Baru pertama dia menemukan orang seperti Hermione. Tak terbaca dan seakan dia hanya hidup di dunianya sendiri.

"Jangan begitu. Lo hidup nggak sendiri di dunia ini. Lo harus coba berusaha membuka hati untuk orang lain."

Kini Hermione menatap Harry lumayan lama. Ini pertama kalinya ada seseorang yang memberinya nasihat bukan perintah. Ini juga pertama kalinya dia bicara dengan Harry selain bicara tentang tugas sekolah. Dan hanya berdua.

"Gue nggak tahu apa yang ngebuat lo menjadi pribadi yang tertutup." Harry melihat Hermione yang masih menatapnya, "Gue juga nggak tahu luka apa yang udah ngebuat lo begini. Hmm, gue bilang begini bukan karena sok tahu, ya. Gue sering lihat lo menyendiri. Dan menurut gue, lo bukannya nggak mau berteman. Tapi lo memang sengaja menutup diri sampe lo terbiasa sendirian."

Hermione benar-benar terdiam. Rasanya seperti tertembak tepat di ulu hati. Namun entah kenapa rasanya tidak menyakitkan. Dia malah merasa.. lega. Ia merasa senang dan seakan kekosongan hatinya yang selama ini Ia rasakan mulai terisi. Terisi dengan semua kata-kata yang terucap dari laki-laki itu.

Hatinya terasa.. hangat.

Harry terkekeh lagi. Merasa lucu dengan kata-kata yang tanpa dia sadari meluncur begitu saja dari mulutnya. Ya, dia bukannya sok kenal sok dekat. Dia tahu mereka hanya teman sekelas yang mengobrol juga benar-benar jarang. Apalagi Hermione tipikal anak yang tidak akan bicara kalau tidak ada yang diperlukan.

Tapi dia hanya bersimpati. Dia merasa Hermione tidak seperti yang orang lain katakan.

"Maaf kalau lo tersinggung." lirihnya kemudian ketika menyadari kalau Hermione tidak merespon. Gadis itu hanya diam.

"Gue emang cenderung banyak ngomong. Entah sama orang yang udah akrab atau belum."

Harry memiringkan dan mendekatkan kepalanya untuk melihat Hermione yang menunduk. Gadis itu terkejut lalu menjauhkan kepalanya dari hadapan Harry.

Laki-laki itu melihat Hermione tepat di matanya. Seakan mencoba membaca apa yang dipikirkan gadis itu.

"Kenapa lo diem terus? Hermione... Ngomong dong."

Hermione melebarkan matanya. Jantungnya berdebar-debar.

Harry masih diam menatap Hermione.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Harry akhirnya tertawa, "Lo ini ternyata lucu juga ya." gelaknya.

Wajah Hermione memerah.

Harry berdiri, "Gue mau masuk lagi ke dalem. Lo mau masuk nggak?"

Hermione hanya diam.

"Nggak mau? Masih mau di sini?"

Gadis itu lagi-lagi hanya diam.

Harry menghela napas, "Yaudah gue duluan." dia pun melangkahkan kakinya untuk masuk, namun baru beberapa langkah suara Hermione sudah menghentikannya. Harry pun menoleh, "Lo bilang sesuatu?"

Hermione berdiri, "Lo.. mau jadi temen gue?"

[]

Serendipity [Dramione]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang