13. His Heart

524 93 20
                                    

Hermione duduk di ruang tamu Draco yang sangat luas. Rumahnya di dominasi oleh warna gelap dengan interior klasik yang terlihat mahal. Beda dengan rumah Hermione yang mengusung tema serba modern.

Orang tua Draco sedang ada bisnis ke luar kota. Maka di rumah itu hanya ada Draco dan para pembantunya.

"Lo bisa nginep di sini buat malem ini doang. Besok lo udah harus balik. Lusa orang tua gue udah pulang." kata Draco seraya menempelkan es batu pada pipi lebam Hermione. Luka-luka gadis itu juga sudah Ia bersihkan dan obati.

Hermione hanya mengangguk untuk merespon perkataan Draco.

"Lo udah lama dapet kekerasan begini?" tanya Draco. Ya, bukannya dia mau ikut campur juga. Tapi melihat banyak sekali bekas luka pada lengan gadis itu membuat Draco berpikir kalau hidup Hermione pasti kelam sekali.

Hermione lagi-lagi mengangguk. 

"Kenapa nggak lapor? Atau bilang ke keluarga lo yang lain."

"Nggak ada yang peduli." seraknya. Ia meraih tangan Draco yang sejak tadi menempelkan es batu pada pipinya, lalu menggenggamnya dengan kedua tangan, "Makanya lo mau ya jadi pacar gue?"

Draco langsung menarik tangannya, "Udah, ya. Jangan bahas itu lagi."

Hermione menekuk wajahnya, "Lo nggak kasian sama gue?"

"Ya, kasian."

"Yaudah kalau gitu kita pacaran aja. Biar gue ada yang jagain. Ya?"

Draco semakin memiringkan tubuhnya untuk mensejajarkan pandangannya pada Hermione, "Lo mau gue nerima lo cuma karna kasian?"

"Gapapa. Asal lo selalu ada buat gue."

Draco menghela napas seraya mengusap wajahnya, frustasi. "Lo ini gimana, sih? Bukannya lo sukanya sama Harry?"

Hermione diam sebentar, "Ya itu kan dulu. Sekarang sukanya sama lo."

"Kok bisa cepet banget beralihnya?" tantang Draco.

"Kenapa? Lo takut gue cepet juga beralih dari lo? Tenang aja, gue janji nggak bakal beralih dari lo." katanya sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah bersamaan.

"Bukan itu maksudnya!"

"Terus?"

Draco diam. Ia menatap mata Hermione dalam-dalam. Berusaha membaca dan mengerti apa yang dirasakan oleh gadis itu. Dia pasti sangat kesepian sampai bisa bicara melantur begitu. Atau sebenarnya Ia sangat takut?

Karena tidak tahu harus jawab apa, akhirnya Draco berdiri dari duduknya."Udah malem. Mending lo tidur."

"Dimana?"

"Kamar gue. Kamar tamu belum diberesin."

"Tidur sama lo?"

"Ya, enggak lah. Gila lo ya?" seru Draco panik.

Hermione mengedikkan bahu, "Ya, kirain gitu lo nggak mau jadiin gue pacar tapi langsung jadi istri aja. Gapapa juga sih, bagus malah."

Draco menelan salivanya. Rada ngeri lama-lama di dekat perempuan sinting ini.

"Terus lo tidur di mana?"

"Gampang. Gue bisa tidur di sofa."

Hermione mencebikan bibirnya, "Tuh, kan. Lo pasti suka sama gue. Buktinya lo mau rela tidur di sofa demi gue."

Draco yang tadi baru saja akan rebahan di sofa, langsung berdiri dan berjalan menuju kamarnya. "Ngimpi lu."

"Eh, eh, eh! Iya iya gue nggak ngomong gitu lagi." tahan Hermione.

Draco menatap Hermione sekilas, lalu memutar bola mata. Akhirnya dia balik lagi rebahan di sofa. Membiarkan Hermione tidur di kamarnya.

...

Draco sengaja menyuruh semua pembantunya untuk tidak ikut campur dalam masalah Hermione. Ia takut ada yang mengadu macam-macam pada orang tuanya.

Sekarang Ia sudah rapih dengan seragam sekolahnya. Tangannya cekatan membuat telur goreng dan nasi goreng. Walaupun orang kaya, dia memang terbiasa mandiri sejak kecil.

Hermione yang sudah bangun 10 menit yang lalu, kini hanya melihat kegiatan Draco sembari duduk di meja bar dapur.

Setelah selesai masak, Draco menaruh dua piring di meja dan mulai makan bersama Hermione.

"Gue takut ketinggalan pelajaran deh kalo bolos."

"Muka lo kaya abis tanding tinju gitu. Mau jadi bahan omongan?" ucap Draco tanpa menatap Hermione dan terus saja memakan makanannya.

"Iya juga, sih." balas gadis itu. Mereka pun diam beberapa menit untuk menikmati makanan masing-masing.

"Lo harus udah balik sebelum gue pulang sekolah. Semua perlengkapan lo udah gue siapin. Nanti lo bakal dianter sama supir suruhan gue. Lo tinggal tau beres aja."

Hermione menganggukkan kepalanya, "Oke." katanya singkat. 

Draco yang sudah selesai masak, menaruh piringnya ke wastafel. Setelahnya Ia duduk lagi menghadap Hermione dan menarik pelan dagu gadis itu untuk mengecek luka-lukanya yang tadi sudah Ia obati kembali.

"Udah lumayan kempes bengkaknya." katanya yang masih meneliti setiap sudut wajah Hermione.

Gadis itu tersenyum. Menatap wajah Draco yang tampak lucu saat serius begitu.

Melihat senyum itu, Draco langsung menjauhkan tangannya dari wajah Hermione. "Nggak usah baper!"

Hermione tersenyum seraya menunduk, "Gue bakal pastiin lo bakal jadi milik gue." katanya dengan suara rendah. Sukses membuat bulu kuduk Draco meremang.

"Nggak usah halu."

Hermione mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk, lalu menatap Draco dalam. "Lo mau tau kenapa gue pengen banget bisa selalu bareng lo?"

Draco menaikkan sebelah alisnya, "Kenapa?" tanyanya dengan suara menantang.

Hermione lagi-lagi tersenyum seraya menunduk, "Nggak tau kenapa, gue selalu merasa aman di dekat lo." Ia mengangkat kepala dan kembali menatap Draco yang kini air wajahnya langsung melunak, "Dulu, gue selalu takut buat bangun di pagi hari. Gue takut segalanya. Tapi semenjak ada lo, gue ngerasa nggak perlu takut apapun lagi."

Gadis itu meraih tangan Draco, "Makasih, ya." katanya dengan tersenyum manis, "Itu juga kan yang lo ajarin ke gue? Bilang makasih setelah terima bantuan."

Draco hanya diam. Bukan karena takut atau merasa aneh. Kini yang Ia rasakan seperti ada air yang mengalir menuju salah satu organ tubuhnya yang bernama.. Hati.

[]

Hello semuaa, untuk saat ini gimana pendapat kalian tentang cerita ini? Maaf ya kalo sifat tokohnya itu beda bgt sama aslinya, krna ini emng 100% fanfiction yg berlatar di muggle ehe

Suka gak sama ceritanya??

Serendipity [Dramione]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang