25. Really Loves You

570 78 24
                                    

Hermione pulang ke rumah dengan tubuh yang sangat lesu sekaligus lega. Ia lelah karena aktifitasnya yang sangat menguras tenaga, otak, dan batinnya. Tapi Ia bersyukur, akhirnya masalah Draco selesai. Sekarang tidak akan ada lagi yang menganggu Draco. Semoga saja.

"Dari mana aja kamu?"

Hermione berhenti dan melihat ibunya yang tengah bertelak pinggang di ruang tamu.

"Abis dari tempat les." jawabnya.

"Kenapa akhir-akhir ini kamu sering datang telat Hermione?"

Gadis itu tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ternyata pihak tempat bimbelnya melaporkan keterlambatannya beberapa hari ini. Gawat.

Ibunya mendekat, "Kalau ayah kamu tau, kamu tau kan akhirnya kaya gimana?"

Hermione menunduk, "Maaf, Bu. Besok nggak akan terulang lagi."

Sang ibu menghela napas, "Yaudah cepetan kamu ke kamar. Sebentar lagi ayah kamu pulang. Kayanya di kantor ada masalah lagi. Lebih baik dia nggak liat kamu." katanya lalu melangkah pergi.

Hermione tak percaya dengan apa yang Ia dengar. Apa tadi ibunya mengkhawatirkannya?

Dengan perasaan campur aduk antara lelah, bingung, dan juga.. senang, Hermione naik ke kamarnya di lantai dua. Langsung melempar dirinya di atas kasur seraya menatap langit-langit kamarnya.

Lagi-lagi, perasaan ini muncul. Perasaan di mana Ia merasa tidak benar-benar sendirian di dunia ini. Tapi, apa benar begitu? Atau semua kebaikan yang Ia terima akhir-akhir ini hanyalah cara Tuhan untuk lebih menyakitinya. Saat Ia sudah terbiasa, semuanya akan direnggut kembali.

Pertama Draco, laki-laki yang Ia paksa untuk selalu dekat. Memang respon Draco selalu baik dan menerimanya. Tapi apa ini benar? Tepatnya, apa benar membiarkan Draco masuk ke dalam hidupnya yang berantakan?

Lalu ada Harry, orang yang dulu Ia sukai. Sekarang, laki-laki itu menjadi temannya. Hanya teman. Baru pertama Ia bisa punya teman. Dan jujur, Ia senang. Ia senang mempunyai teman. Tapi apa Harry tulus berteman dengannya? Mengingat sikapnya yang tidak pernah baik pada laki-laki itu. Awalnya Ia juga memaksa Harry untuk dekat dengannya. Sama dengan Draco.

Setelahnya ada Ginny. Orang yang dulu sangat Ia benci. Orang yang terlalu heboh sedangkan Hermione benci suara. Jujur, Hermione iri dengan Ginny. Ia punya banyak orang yang menyayanginya. Selain itu, yang lebih membuat Hermione iri adalah fakta bahwa Ginny ternyata gadis yang baik. Hermione akui itu sekarang. Dia gadis yang ramah, penyayang dan ceria. Dan jujur, walaupun sering dia mengelak, Hermione lumayan senang di dekat Ginny.

Dan sekarang ibunya. Ya, dia memang bukan ibu kandung Hermione. Namun dialah yang sudah mengurus Hermione sejak kecil. Wataknya yang keras membuat Hermione tidak bisa dekat dengannya. Wanita itu pun tidak repot-repot berusaha dekat. Tapi, entah kenapa, sedikit saja mendengar kekhawatirannya membuat sesuatu dari hatinya terasa ingin menangis. Padahal Ia merasa air matanya sudah beku sejak lama.

Perlahan namun pasti, rasa lelah dan pikirannya membawa Hermione ke dalam sebuah mimpi indah dimana Ia bertemu sang ibu di surga dan menangis di dekapannya.

...

Satu Minggu kemudian. Kasus Draco sudah benar-benar selesai. Tanpa diduga, Blaise mengakui semua perbuatannya dengan mudah. Kabar yang menyatakan Draco difitnah pun menyebar. Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang menyebarkan? Ia tidak akan rela anaknya di cap sebagai pembully seumur hidup.

Draco berjalan santai memasuki area sekolah. Kini tidak ada lagi pandangan menghina dan semacamnya. Semua kembali ke sedia kala. Walaupun banyak sekali yang bertanya ini-itu. Kebanyakan pasti hanya karena penasaran, bukannya peduli bukan? Maka dari itu Draco lebih memilih mengabaikannya.

Serendipity [Dramione]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang