11. Different

482 88 8
                                    

"Cie, dapet cokelat dari siapa lagi tuh?"

Mendengar suara itu, Harry langsung menoleh cepat dan menjauhkan cokelat dari jangkauannya. Seakan ketahuan selingkuh saja.

Ginny terkikik kecil. Gadis itu duduk di samping Harry dan mulai mengeluarkan beberapa foto hasil dokumentasi mereka pada pentas seni bulan lalu.

"Gak tau tuh siapa yang ngasih." jelas Harry. 

"Kok gak dimakan? Kasian yang ngasih tau."

"Kalo ini ada racunnya gimana? Lo mau gue kenapa-napa?"

Ginny menoleh, "Iya. Biar lo nggak ngejar-ngejar gue terus." candanya.

Harry cemberut.

Ginny diam saja. Tangannya tiba-tiba berhenti memilah-milah foto. Pikirannya melayang pada beberapa minggu lalu ketika Harry kembali menyatakan cintanya. Itu sudah pernyataan cinta yang ketiga. Namun laki-laki itu tidak pernah menyerah.

"Ry, kayanya Hermione suka sama lo ya?" kata Ginny yang membuat Harry mengernyit, bingung. Kenapa tiba-tiba membahas Hermione?

"Begitu lah. Tapi sekarang dia nggak ngedeketin gue lagi. Udah move on kayanya."

"Yakin? Gue sering liat dia masih liatin lo."

Harry menoleh, "Oh ya?" laki-laki itu berpikir sejenak, "Kenapa emang? Lo cemburu yaaa??" godanya.

Ginny hanya tersenyum kecil seraya menunduk, "Ogah." katanya pelan. Harry kembali cemberut.

"Lo sama Hermione itu cocok tau. Kenapa lo nggak suka aja sih sama dia? Daripada sama gue."

Harry langsung menutup buku yang tadi dia baca dan menghela napas panjang. Begini lagi begini lagi. Ginny selalu saja menjodohkannya dengan perempuan lain.

"Hermione itu pinter 'kan. Keliatannya dia juga suka banget sama lo. Dia tulus. Ya walaupun dia galak, sih."

Harry masih diam.

"Dia juga cantik. Kok bisa sih lo nolak dia? Bego banget tau gak? Kalo gue jadi cowok, udah gua gebet deh."

"Udah ngomongnya?"

Ginny melihat Harry yang juga sedang menatapnya balik. Gadis itu dapat melihat luka dibalik mata itu. Lagi-lagi dia membuat laki-laki itu bersedih.

"Tolong banget ya, Ginny. Kalo lo nggak bisa nerima perasaan gue, seenggaknya jangan jodohin gue sama siapapun." Harry menatap tajam Ginny, "Lo tau nggak sih kalo rasanya itu sakit banget?"

Ginny menelan salivanya. Ia berusaha tak gentar, "Apaan, sih? Lebay deh. Lagian Hermione kan suka sama lo. Kalo lo sama dia pasti perasaan lo terbalas. Beda sama gue. Karena sampe kapanpun gue nggak mungkin bisa bales perasaan lo."

Harry terdiam. Sudut matanya berkedut menahan sedih, marah, dan kecewa. Laki-laki itu pun berdiri, "Oke, kalo gitu. Gue bakal liatin ke lo kalo gue bisa dapetin Hermione balik. Gue bakal bahagia sama dia. Gue bakal lupain lo! Puas?" katanya lalu langsung pergi dari ruangan itu. Meninggalkan Ginny yang perlahan-lahan mulai meneteskan air mata.

Gadis itu menutup wajahnya. Air mata mulai mengaliri wajah cantiknya. Berusaha sekuat mungkin untuk tidak menimbulkan suara. Mengapa rasanya sakit sekali ketika mendengar laki-laki itu berkata kalau dia akan melupakannya? Kenapa rasanya begitu sesak ketika laki-laki itu pergi?

Ginny mencoba mengatur napasnya, "Ini yang terbaik buat semuanya, Gin. Lo nggak boleh nangis. Ini demi kebaikan lo dan dia juga."

Gadis itu tertunduk. Tangannya memilin satu sama lain, "Lo itu nggak sebanding sama Harry, Gin. Lo harus sadar. Lo siapa, dia siapa." katanya makin menunduk.

Ya, alasan mengapa Ginny tidak pernah menerima Harry karena Ia selalu saja merasa kecil bila bersama laki-laki itu. Harry terlalu sempurna untuk dirinya. Sedangkan dia hanya anak dari pegawai negeri golongan bawah. Dia bisa sekolah di sini pun karena bantuan beasiswa. Kalau bukan karena beasiswa itu, pasti dia tidak bisa bersekolah di tempat elit ini. Dan pastinya dia juga tidak bisa bertemu dengan Harry.

Begitu banyak perbedaan antara dirinya dan Harry. Ia tidak bisa bersanding dengan Harry di keadaannya yang seperti ini. Ia harus kerja keras demi keluarganya. Demi mengangkat nama keluarga. Beda dengan Harry yang anak dari seorang pejabat. Hidupnya sudah berbeda dengan Ginny bahkan sejak mereka lahir. Harry terlahir dengan sendok emas, sedangkan Ginny? Memiliki sendok saja sudah membuatnya bersyukur.

"Maafin gue, Ry. Maaf."

...

"Baik semuanya! Untuk pelajaran biologi kali ini, kita bakal praktek. Silakan membuat kelompok. Satu kelompok berisi tiga orang."

Hermione selalu benci berkelompok. Karena Ia akan selalu bingung akan berkelompok dengan siapa. Tidak ada yang mengajaknya, dan dia juga tidak mau mengajak duluan.

Dulu, mungkin Ia akan langsung menghampiri Harry dan meminta laki-laki itu untuk sekelompok dengannya. Tapi setelah penolakan itu, membuat niatnya urung.

Atensinya melihat ke arah Draco yang sedang asyik melihat-lihat mikroskop bersama kedua temannya, Blaise dan Theo. Gadis itu pun langsung menghampirinya.

"Draco, lo sekelompok sama gue ya?"

Hening. Entah kenapa kelas tiba-tiba jadi hening.

Harry yang sedang berdiri di sudut ruang itu pun langsung terkejut dengan perkataan Hermione.

"Hmm, kelompok kita udah bertiga, Hermione. Udah ada gue, Theo, sama Draco. Lo sama yang lain aja ya? Atau itu sama Harry! Dia baru dua orang tuh."

Hermione menoleh kearah laki-laki berkaca mata itu. Harry mengangguk mengiyakan. Namun Hermione tidak juga bergerak. Tetap berdiri di depan Draco.

Melihat Hermione yang hanya diam, akhirnya Harry menghampirinya. Pikirnya, mungkin gadis itu malu atau tak enak hati karena pernah Ia tolak.

"Ayo, Mione. Lo sekelompok sama gue aja." katanya seraya meraih lengan kanan gadis itu.

Saat Hermione mulai bergerak, tiba-tiba lengan kirinya ditahan seseorang.

Kelas makin hening.

Draco yang menahan lengan gadis itu agar tak pergi.

"Blaise, lo aja yang sekelompok sama Harry." ucap Draco.

Blaise melotot, "Lah, kok jadi gue sih?"

"Kelompok sama siapa aja. Jangan rasis lu." celetuk Theo.

"Ya, bukan gitu..." Blaise memelas, "Ah, yaudah deh." katanya pasrah. Ia segera menarik tangan Harry menjauhi Hermione dan Draco, "Gue yang masuk kelompok lu."

Setelah kelas kembali melanjutkan kegiatan masing-masing, Hermione masih tetap saja melirik-lirik Draco. Laki-laki itu hanya diam sembari matanya fokus pada sample yang akan mereka teliti nantinya.

Baru pertama Ia merasa diinginkan dan diterima. Biasanya orang selalu menolaknya, menghindarinya. Tapi kali ini tidak. Ada yang meraih tangannya dan menahannya agar menetap.

[]

Serendipity [Dramione]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang