08. Recognition

445 77 0
                                    

Karena sekarang mereka sudah menjadi tim untuk lomba olimpiade fisika, maka mereka harus belajar bersama untuk mempersiapkan lomba itu tiga minggu lagi.

Hermione mengambil banyak sekali buku dari perpustakaan, lalu menumpuknya di meja. Draco yang melihat itu langsung melotot, "Lo mau pelajarin semua?"

Hermione menghela napas sejenak seraya menghela keringatnya, "Iya, lah."

Laki-laki itu membuka buku satu persatu. Tak habis pikir dengan kerajinan orang di depannya ini.

Begitulah Hermione. Ia akan lakukan apapun demi keinginannya tercapai. Walau lelah begitu, Ia terus saja mempelajari buku-buku yang dibawanya. Membuat banyak sekali catatan kaki yang sekiranya penting untuk dicatat.

Draco kembali menatap gadis ambis di depannya itu. Keringat dingin membasahi wajah Hermione. Tangannya yang terus menulis pun mulai gemetar. Sepertinya dia sakit.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Draco. Hermione hanya menggeleng sebagai jawaban. Namun Draco tidak percaya.

Baru saja Ia mengangkat tangannya untuk mengecek suhu tubuh Hermione, namun tangannya langsung ditepis oleh gadis itu.

"Gue nggak apa-apa. Lo fokus belajar juga. Jangan sampe kita kalah."

Draco makin tidak mengerti. Bagaimana bisa ada manusia yang teramat ambis seperti gadis keriting ini?

Satu jam telah berlalu. Rasanya punggung Draco akan patah. Ia kembali melihat Hermione yang matanya setengah tertutup. Tiba-tiba dia terkejut ketika darah mengalir dari hidung gadis itu. Langsung saja Hermione mengambil tisu dan menenggakkan kepalanya.

"Belajar selesai. Kita lanjut besok." kata Draco sambil menutup buku-buku itu. Namun pergerakan tangannya langsung ditahan oleh Hermione.

"Lo aja yang udahan. Gue masih mau belajar."

Draco ternganga tak percaya. Masih mau belajar? Dikeadaannya yang seperti ini?

"Lo gila?"

Hermione sedikit terkekeh, "Emang."

"Nggak usah dipaksa. Masih ada hari esok."

Hermione lagi-lagi menahan pergerakan tangan Draco yang kembali menutup buku-buku.

"Buat orang kaya lo yang terlahir jenius, pasti ini semua gampang banget kan? Lo nggak perlu belajar mati-matian buat menang. Sedangkan gue? Gue harus berjuang sekuat tenaga buat ini semua. Lo pasti ketawain gue dalam hati kan? Bagi lo gue pasti cewek teraneh yang pernah lo liat."

Draco mengernyit tak terima, "Gue nggak pernah mikir kaya gitu."

Hermione malah tertawa sinis. Draco makin geram. Ia kembali membereskan buku-buku itu ketika melihat Hermione mimisan lagi. Namun gadis itu tetap keras kepala.

"Yaudah! Terserah lo. Emang lo yang paling bener. Lo yang paling sakit. Semua orang bajingan. Gue bajingan. Silakan lanjutkan usaha mati-matian lo ini." seru Draco lalu langsung pergi meninggalkan tempat itu.

...

Pelajaran olahraga sudah dimulai. Mereka diminta memilih pasangan untuk pelajaran bola basket. Seperti biasa, Hermione hanya diam di pojok.

Dia terus melihat ke arah Harry yang asyik bermain bola basket bersama Seamus dan yang lainnya. Entah kenapa, Ia merasa tidak ingin kehilangan Harry. Ia mau, Harry hanya melihat dirinya.

Maka gadis itu menghampiri Harry di tengah lapangan. "Harry, lo sekelompok sama gue, ya?"

"Tapi Harrynya udah sama gue, Herm. Lo sama yang lain aja, ya." ucap Seamus. Hermione masih menatap Harry. Berharap laki-laki itu memilihnya. Namun, Harry hanya diam. Terlihat bingung dengan keadaan.

Kini semua orang tahu kalau Hermione sudah mengekang Harry. Dan mereka juga bilang kalau Harry tidak punya pendirian karena selalu menuruti keinginan Hermione.

Laki-laki itu melihat ke arah ujung lapangan. Ia melihat Ginny yang berdiri di sana sambil membawa buku-buku. Sepertinya gadis itu hendak menuju perpustakaan.

Ginny jelas bisa mendengar perbincangan mereka. Harry tidak ingin gadis itu salah paham. Ia juga tidak ingin orang-orang menganggap dia tidak punya ketegasan dan pendirian.

Tapi.. Hermione?

Gadis itu masih kukuh menunggu Harry. Tidak mau berkelompok dengan yang lainnya.

Harry menghela napas panjang, "Gue sama Seamus, Herm. Lo sama yang lain aja, ya?" ucapnya selembut mungkin agar tidak menyakiti Hermione.

Namun gadis itu malah pergi begitu saja. Ia bicara pada guru olahraganya, "Pak, saya ke UKS. Saya nggak enak badan." katanya lalu pergi tanpa mendengar persetujuan.

Semua orang menatap Hermione. Mereka bingung, kesal, dan tidak menyangka. Mereka berpikir kalau Hermione itu kekanakkan, egois, dan mau menang sendiri.

Harry frustasi. Ia mengejar Hermione yang hendak pergi ke UKS.

"Mione."

Gadis itu pun berhenti, "Apa?"

Laki-laki itu mengusap wajahnya, kasar. "Jujur, capek gue sama lo."

Hermione mengerutkan dahi, "Capek kenapa? Emang gue ngapain?"

"Lo terlalu bergantung sama gue, Herm. Lo ngekang gue."

"Ngekang lo gimana? Emang gue pernah maksa lo buat nurutin keinginan gue? Nggak kan?"

"Tapi sikap lo yang ngebuat gue terkekang. Lo selalu buat gue bingung antara milih lo atau yang lain."

"Kenapa lo harus bingung? Ya itu pilihan lo. Kalo lo mau sekelompok sama Seamus, yaudah. Gue mah nggak ikut pelajaran olahraga juga nggak kenapa-napa. Lagian gue males."

Harry makin frustasi. Ia benar-benar lelah menghadapi Hermione, "Please, Mione." ucapannya tertahan. Ia melihat Hermione lamat-lamat, "Kita.. Cuma temen kan?" katanya dengan hati-hati.

Harry tidak bodoh. Dia juga bukan tipikal orang yang tidak peka. Dia tahu kalau Hermione menyukainya. Itu sangat kentara sekali. Dimana hanya dirinya yang diperbolehkan untuk masuk ke dunia gadis itu.

Hermione terdiam. Ia menggigiti bibirnya dengan tangan yang terkepal.

"Mione, maaf gue bilang kaya gini. Tapi gue nggak mau kesannya ngasih lo harapan. Kita cuma temen, Herm. Lo nggak bisa perlakuin gue kaya-"

"Gue suka sama lo."

Harry terdiam. Ia tidak menyangka kalau Hermione akan sefrontal itu.

"Gue mau lo. Gue mau jadi temen lo. Gue mau lo jadi pacar gue. Gue suka sama lo..." Hermione menatap Harry tanpa ragu sedikitpun, "Dari dulu."

[]

Serendipity [Dramione]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang