"Kita harus mulai darimana, Panglima?" Tanya salah seorang pengawalnya. Sedangkan Alastair masih mengamati peta di hadapannya. Itu adalah peta Arcadia. Yang ia gambar semalaman. Bagaimana bisa ia mengetahui semua letak Arcadia? Semalam ia dan ayahnya memutari Arcadia agar semua rencananya berjalan lancar.
Tak lama kemudian, telunjuknya berhenti pada sebuah tempat yang tergambar di peta, "Tempat ini. Tempat ini adalah tempat terakhir kita." Ucapnya sambil mengusap dagunya yang berminyak. Itu adalah istana. Istana akan menjadi tujuan terakhir mereka.
"Apa pistol dan beberapa pasukan sudah datang?" Tanya Tarsius pada Alastair.
"Belum. Aku sudah memastikan pada mereka, mereka harus sampai disini saat lusa mendatang."
"Apa? Lusa? Bukankah itu terlalu lama?"
Alastair menyalakan rokoknya dan duduk di atas batang kayu, "Apa di otakmu terpikir bagaimana reaksi mereka mendapati ada lima ribu pasukan datang ke wilayah mereka tanpa alasan dan membawa senjata yang bahkan mereka tidak tau apa itu? Lusa bertepatan dengan hari kita menyerang."
Panglima dua puluh tahun itu mengepulkan asap nikotinnya, "Kita masih memiliki seribu pasukan yang bersembunyi di balik bukit jika kau lupa. Bukit itu hanya berjarak lima kilometer dari lokasi kita sekarang. Serangan pertama kita melakukannya dengan cara manual. Kita serang mereka dari arah depan. Dan saat mereka sudah lengah, kita keluarkan seribu pasukan dengan pistol yang akan menyerang dari atas tebing ini."
Alastair menunjuk sebuah gambar tebing yang berada di sepanjang jalan ibukota.
"Setelahnya, kita akhiri perang hari itu."
"Itu taktik mu untuk perang hari pertama?" Tanya Tarsius, dan Alastair mengangguk.
"Untuk perang hari kedua, aku masih tidak yakin dengan kondisi yang akan tercipta pasca hari pertama. Jadi, kita tunggu saja bagaimana kelanjutannya."
"Lepaskan aku! Bajingan!"
Alastair yang mendengar itu langsung keluar dari tenda dan menghampiri salah satu pengawalnya yang ternyata sedang menarik kerah seorang pemuda asing. Netra Alastair bertubrukan dengan manik pemuda asing itu. Berwarna hijau gelap. Alastair yakin, pemuda itu bukan manusia biasa. Bisa saja, ia adalah rakyat Arcadia.
"Panglima, pemuda ini menguping strategi anda. Putusan apa yang telah anda buat, Panglima?"
Pemuda itu berusaha melepaskan diri dan samar-samar manik hijau gelapnya bersinar. Sialnya, Alastair menangkap hal itu.
"Siapa kau, bocah?"
"Lepaskan aku, atau kalian semua menginginkan taringku menancap di leher kalian?"
Pemuda itu mengeluarkan taring yang sedari tadi ia sembunyikan. Alastair terdiam sesaat lalu berkata, "Jadi, kau vampire? Apa tujuanmu kesini?"
"Kau tak perlu tau, bangsat! Sekarang lepaskan aku!"
Alastair emosi dipermainkan seperti ini. Ia menarik dagu pemuda itu dan berteriak, "Tidak semudah itu bocah!"
Kemudian Alastair mencari batang kayu, melumurinya dengan minyak dan menyalakannya dengan api. Ia pun mendekatkan api itu pada sang pemuda. Membuat pemuda itu gelisah dan berusaha melindungi tubuhnya.
"Kau ingin mati seperti dua vampire sebelumnya?" Tanya Alastair geram.
"Aku ingin membicarakan sesuatu dengan kalian, tapi aku juga butuh balasan untuk itu."
Alastair dan Tarsius saling pandang untuk beberapa saat, "Aku bahkan tidak yakin apa kau serius dengan perkataanmu itu. Apa jaminannya?"
Pemuda itu menunduk sekilas lalu menatap Alastair kembali. Mengucapkan kalimat yang membuat Alastair lagi-lagi menaikkan sebelah alisnya. Alastair juga membuang obor yang baru dia buat.

KAMU SEDANG MEMBACA
S!GN; Hyunjeong
FanfictionDisebelah barat Babilonia, sebuah kerajaan bernama kerajaan Arcadia berdiri kokoh dipimpin oleh seorang raja bernama Lycaon. Ia memimpin kerajaan dengan wujud manusia serigala karena dikutuk oleh Dewa Zeus, dewa dari para dewa karena melakukan sebua...