A Seducer from The Past (3)

1.9K 119 6
                                    

Sorry lama update lagi. Sempet sakit, habis itu banyak tugas yang sangat menyita waktu, menguras tenaga dan pikiran, bikin capek banget. Jadi gak semangat buat nulis.

* * *


Dari balik meja kasir, Nana bisa memandangi Naren yang sedang memanggang roti dengan raut seriusnya. Sudah tiga hari ini Naren menjadi koki sukarelawan di toko Bu Rin (toko ini seperti toserba sekaligus kafe). Meski mulai sore sampai malam, tapi nyatanya mampu menarik banyak pelanggan berdatangan. Terutama dari kaum muda. Dan berjenis kelamin perempuan, kalau Nana bisa menambahkan.

Memang, di mana pun itu, kalau ada pria tampan nan menawan sedang memasak, pasti langsung mengundang decak kagum kaum hawa. Katanya makin seksi lah. So charming lah. Tambah hot lah. Huh! Bikin Nana makin sebal. Lihat itu, bisik-bisik sekelompok perempuan muda yang sedang mengagumi Naren.

Sejak kapan pulau ini punya banyak perempuan muda? Selama tinggal di sini, Nana lebih sering menjumpai orang-orang paruh baya dan lansia. Tetapi, kenapa sekarang begitu banyak perempuan muda? Jangan-jangan mereka dari luar pulau ini.

"Nana," seruan yang terdengar keras itu mengembalikan Nana dari fokusnya pada Naren yang sudah seperti koki ahli.

"Eh, maaf Bu. Ada apa?" Nana berusaha keras untuk menahan malu karena ketahuan menatap pria di sana dengan tatapan memuja. Eh, memuja?!

"Gak usah takut, Na. Pacarnya gak akan berpaling dari kamu, kok. Terlihat sekali Naren itu cinta banget sama kamu." Sekalipun Bu Rin terdengar sedang menggoda, namun wanita paruh baya yang beberapa hari ini mengenal Naren, bisa merasakan afeksi pria itu pada perempuan di hadapannya.

"Apa sih, Bu. Kita cuma teman, kok." Nana mengalihkan wajahnya ke arah rak barang, menyembunyikan pipinya yang tiba-tiba menghangat.

Melihat perempuan yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri itu mengelak, Bu Rin tertawa kecil. Gemas sendiri melihat pasangan muda itu yang seperti main tarik ulur urusan hati.

"Ya sudah, terserah kamu. Tapi, Ibu cuma mau bilang." Nana mengembalikan atensinya dengan menatap wajah tenang Bu Rin saat terdengar akan membicarakan sesuatu yang penting.

"Kesempatan tidak datang tanpa alasan, Na. Dan kita tidak tahu apakah akan ada kesempatan yang sama lagi, jika kita melewatkannya." Dengan senyum teduhnya, Bu Rin menepuk lembut lengan atas Nana yang termenung.

Kalimat itu seolah pesan sekaligus teguran lembut dari Bu Rin. Wanita yang bijaksana itu seolah tahu benar permasalahan yang menjadi sumber kerisauan hatinya semenjak kedatangan Naren. Dan mungkin itu sebabnya, ia mulai memberanikan diri untuk mengambil keputusan.

Malam itu, seperti beberapa malam lalu, Naren menikmati waktu tenangnya di halaman belakang toko Bu Rin. Memandangi malam yang bergemintang dengan secangkir kopi hangat selesai menutup toko. Dan kali ini Nana menghampirinya. Mengambil posisi duduk di kursi santai sebelah Naren.

"Mau lihat bintang juga?" Tanya Naren dengan senyum hangatnya.

Agak gugup, Nana mengangguk kaku. Mendadak, deretan kalimat yang sebelumnya telah disusun rapi dalam otaknya, seketika menghilang hanya dengan memandangi wajah Naren yang begitu damai. Seperti telah menemukan ketenangan hati hanya dengan situasi sesederhana ini, melihat langit gelap dengan pendar bintang.

"Mau bercerita?"

"Hah?!"

Nana tiba-tiba seperti orang dungu saat ditanya Naren setelah kebisuan mereka beberapa waktu.

"Maaf."

Satu kata yang akhirnya terucap setelah Naren diam menunggu. Satu kata yang mengawali cerita panjang yang bergulir. Cerita yang begitu dinanti Naren sekian tahun.

LOVE - Book Of Romance StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang