Kafe Paris Van Java

7.6K 362 11
                                    

Bandung, April 2020

Langit sore kota Bandung yang begitu cerah. Dengan hiasan awan-awan tipis yang tidak terlalu tebal. Langit cerah saat ini seolah menandakan bahwa kota ini sedang tersenyum(?)

Namun, secerah langit sore kota ini tetapi tidak secerah hati seorang mahasiswi perempuan yang sedang di parkiran sebuah universitas terkemuka di kota ini bersiap untuk pulang. Raut wajahnya tampak datar nan dingin. Seolah, ia sedang merasakan lelahnya kehidupan yang fana ini.

Sepeda motor matic nya yang ia tumpangi sebagai moda transportasi dirinya untuk pulang-pergi dari kampus ke rumahnya. Serta, tidak lupa helm retro yang ia gunakan sebagai pelindung kepala selama perjalanan. Perempuan itupun kemudian menghidupkan sepeda motornya dan mulai meninggalkan area kampus. Dengan kecepatan sedang, ia cukup fokus mengendarai kendaraannya itu. Raut wajahnya yang serius serta tatapannya tidak pernah lepas dari pandangan kedepan.

Ada niatan darinya untuk tidak langsung pulang kerumah. Pikirannya tertuju pada sebuah kafe yang rasanya ingin ia kunjungi sebagai pelepas penat lelahnya kegiatan kampus hari ini dari pagi sampai sore hari.

Betul saja, selang lima belas menit lebih perjalanan dari kampusnya, ia mendarat terlebih dahulu disebuah kafe yang tidak asing baginya. Kafe yang bertuliskan Kafe Paris Van Java dengan nuansa design yang diperuntukkan untuk anak muda banget nan klasik bagi setiap pengunjung kafe tersebut serta ukuran kafe yang tidak terlalu luas. Bagaimana tidak asing menurutnya, toh sedari ia masih berseragam SMA pun, kafe yang ia kunjungi itu adalah langganannya.

Gadis itu pun kemudian masuk ke area kafe tersebut. Tampak suasananya tidak terlalu ramai, hanya beberapa pengunjung yang meramaikan kafe tersebut dengan masing-masing pasangannya. Gadis tersebut kemudian menghampiri meja bar dan ia hendak memesan sesuatu.

"Selamat datang! Oh, hai, Gracia, mau pesan apa?" Salah satu barista kafe tersebut cukup mengenali gadis yang bernama Gracia tersebut.

"Hai juga, Nin. Biasa deh, kesukaanku, ya?" Gracia mengedipkan sebelah matanya kepada barista kafe tersebut yang bernama Anin, sesuai name tag yang terpampang di apron yang Anin gunakan.

Anin kemudian memberikan jempolnya, seolah ia sudah tahu apa pesanan kesukaan Gracia, "Oke, Nona Gracia, pesanan akan segera dibuat."

Gracia tersenyum, kemudian meninggalkan meja bar tersebut setelah selesai memesan pesanannya. Lalu, ia berjalan menuju meja pojok kafe yang berdekatan dengan jendela kafe. Gracia terduduk kemudian, menatap sendu luar kafe dari jendela tersebut sembari tangan sebelah tangannya ia gunakan sebagai sandaran dagunya.

Sekilas, kenangan itu pun lahir kembali dari ingatan Gracia. Kala itu, dimana, di kafe inilah kebahagiaan setahun silam itu pernah terjadi. Masih jelas betul dalam ingatan Gracia, setiap senyuman seseorang yang masih ia rindukan bahkan ia cintai sampai saat ini tersirat jelas dalam bayang-bayang Gracia. Kenangan itu, menurutnya adalah candu untuk ia kenang kembali, seperti halnya secangkir kopi yang ia sukai.

Tuhan, memang terkadang tidak adil. Walaupun kenangan itu memang candu, tetapi, kenangan yang Gracia ingat justru membuat hatinya sedikit tersayat. Menjadikan hatinya bersedih kembali. Bagaimana bisa ia melupakan kenangan itu, terlebih kenangan itu adalah bersama orang yang ia cintai(?)

***

Bandung, Juni 2019

"Kamu tuh jangan suka keseringan minum kopi deh, Gre. Gak baik buat kesehatanmu." Seorang gadis yang duduk didepan Gracia memperingati kebiasaan Gracia yang hampir setiap hari selalu minum kopi.

22.22 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang