Miracle

2.5K 203 20
                                    

Sia-sia, 'kah semua penyesalanku saat ini?

Andai, aku bisa memutar waktu kembali? Mendengarkan semua perkataanmu.

Menerima semua penjelasanmu yang sekiranya dapat meruntuhkan rasa benciku padamu.

Akh, tidak. Aku tidak sepenuhnya membencimu, kok.

Kebencianku sama kamu, hanya sebagai ucapan belaka.

Maafkan aku, bila aku secara terang-terangan menyakitimu, juga.

Oh, Tuhan...

Maafkan aku, bila akhirnya aku adalah seseorang yang berhati munafik.

Tetapi...

Aku akui...

Aku...

Tidak bisa membohongi perasaanku saat ini.

Kalau aku...

Masih mencintainya.

***

"Gre, ayo makan? Belakangan ini, lo susah banget buat makan." Siska tampak khawatir melihat keadaan, Gracia, saat ini. Wajahnya yang lusuh, kedua bola matanya yang bagaikan mata panda, serta rambutnya yang sangat berantakan.

Sudah seminggu berlalu semenjak peristiwa yang menimpa Shani kecelakaan tragis itu. Gracia, menjadi sosok yang pemurung, engga untuk berbicara bilamana hanya seperlunya saja, dan sering kali menangis tiba-tiba mengkhawatirkan kondisi, Shani.

Seminggu itu pula, pasca operasi, Shani, yang sudah dilakukan, namun kondisi Shani masih belum menunjukkan perkembangan lebih lanjut. Lebih tepatnya, pasca operasi tersebut, Shani, masih belum sadarkan diri, atau bisa dikatakan memasuki fase koma. Namun, beruntunglah bagi, Shani, karena berhasil melewati masa kritisnya ketika awal peristiwa tragis itu terjadi.

"Ntar, lo sakit. Jangan kayak gini terus. Kasihan diri lo juga, Gre. Gue yakin, kok. Shani, pasti bakal segera sembuh kayak biasa lagi."

Terlalu mengkhawatirkan, Shani, membuat, Gracia, lupa diri. Sudah seminggu ini pula, nafsu makan ia sangat tidak bergairah. Bahkan, bisa dikatakan, Gracia, enggan untuk menikmati sesuap makanan yang diharuskan masuk ke pencernaannya.

Siska, masih setia menemani, Gracia, saat ini ditaman rumah sakit. Dengan sesendok bubur ayam ditangannya, ia masih berusaha untuk menyuapi teman satu kelasnya itu agar makan satu suap saja. Tetapi, hanya gelengan pelan dari, Gracia, sebagai jawaban penolakan untuk makan.

"Jangan bikin gue makin khawatir kayak gini, dong? Udah seminggu lo gak masuk kampus, terus makan juga gak mau. Kalo lo kayak gini, sama aja lo gak kasihan sama, Shani, yang lagi berjuang buat sembuh. Bahkan, kalo boleh jujur, keadaan lo sekarang kayak orang gila, Gre."

Hanya lirikan sesaat dari ujung kedua bola mata, Gracia, serta raut wajah dinginnya nan datar. Tidak memaksa, Siska, untuk menemaninya saat ini. Itulah yang muncul dibenak, Gracia.

"Lo, gak usah khawatir sama gue, Sis. Kalo lo gak nyaman sama keadaan gue, ya udah sana, lo cabut aja! Gue gak maksa lo buat nemenin gue disini, gue bisa sendirian." Ada emosi yang sedikit memuncak dari, Gracia. Siska yang melihat emosi, Gracia, memahami betul kondisinya saat ini.

"Bukan gitu, Gre. Gue gak mungkin biarin lo sendirian disaat lo lagi sedih kayak, gini. Kalo gue biarin lo sendirian, gue gak akan maafin diri gue sendiri."

"Ya, terus?" Kini, Gracia, beranjak dari kursi taman. Bermaksud meninggalkan, Siska, untuk kembali ke dalam area rumah sakit.

Siska menghela nafasnya sesaat, ia tidak ingin ada perdebatan diantara keduanya, "Gue gak mau lo sedih terus, Gre."

22.22 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang