Rencana

1.4K 179 7
                                    

Pagi itu, sekitar jam sembilan. Shani mengunjungi kafe langganannya sedari dulu semasa sekolah, yang sering ia lakukan juga bersama Gracia. Kafe yang ternyata pemiliknya adalah, Anin. Ia mengunjungi kafe tersebut karena ada maksud lain yang harus ia lakukan, selain dari sekedar mengunjunginya dan menikmati secangkir kopi kesukaannya itu.

"Tumben pagi-pagi gini udah dateng kesini, Shan?" Tanya Anin di sela-sela merapihkan meja baristanya.

"Jadi, aku tuh ada maksud lain dateng kesini pagi-pagi gini, Nin." Jawab Shani sembari menyeruput secangkir moccachino kesukaannya itu.

"Maksud lain? Maksudnya?" Sekilas, Anin menatap Shani dengan penasaran ditengah kesibukannya itu. Shani tersenyum penuh arti sembari meletakkan cangkir yang selesai ia gunakan.

"Aku mau pinjam mobil kamu."

"Oh, bilang dong kalau mau pinjam mobil." Anin menghentikan sejenak kesibukannya, ia merogoh saku celananya dan meraih kunci mobilnya. Lalu, diberikanlah kunci mobil tersebut kepada Shani.

Tangan kanan Shani meraih kunci mobil pemberian Anin, ia tersenyum sumringah, "Thanks ya, Nin? Maaf, aku ngerepotin kamu, lagi."

Anin menggelengkan pelan kepalanya seraya tersenyum meyakinkan kepada Shani, bahwa ia tidak merasa direpotkan oleh Shani.

"Aku udah bilang berkali-kali, aku gak merasa direpotin kamu, Shan. Jadi, stop ngomong kayak gitu, ya? Oh ya, by the way kamu mau kemana?"

Shani tersenyum nanar mendengar ucapan Anin. Tidak ada teman sebaik Anin dalam hidupnya, itu yang ia rasakan saat ini. Anin banyak membantunya ketika ia ditengah kesulitannya sampai saat ini.

"Aku mau ke Lembang, Nin. Mau nengokin vila orang tuaku yang masih ada. Kamu tahu, kan? Semenjak keluargaku bangkrut, hanya rumah dan vila itulah yang tersisa. Sempet sih, mau dijual keduanya. Tapi, Papah bersikeras buat mertahanin kedua bangunan tersebut."

Anin mengangguk-ngangguk mendengar ucapan Shani.

"Oh iya, Shan? Aku lupa deh sama kamu. Kamu, gak kuliah?"

Shani menggelengkan kepalanya seraya tersenyum.

"Gak, Nin. Jangankan buat kuliah, buat sehari-hari pas aku di Jogja aja sangat kesulitan. Enam bulan Papah belum dapet kerjaan semenjak pindah kesana. Buat makan pun kadang aku dan keluargaku harus ngutang dulu ke warung deket rumah. Ya, pokoknya bener-bener sedih deh kalo diceritain."

"Terus, kalo kamu gak kuliah kamu ngapain?"

"Aku mutusin buat cari kerjaan. Aku melamar pekerjaan kesana-kesini, semuanya aku coba. Emang ya, nyari kerjaan tuh susah banget. Aku gak langsung dapet kerjaan pas udah melamar, tuh. Jadi pengangguran sementara."

"Tapi, Alhamdulillah sih akhirnya setelah nunggu sebulan lebih aku dapet kerjaan jadi cleaning service di salah satu bank. Dari situlah, aku mulai bisa bantu-bantu keluargaku sedikit demi sedikit." Lanjutnya berucap, disertai ia kembali meminum setegak moccachinonya.

Anin tersenyum sedih mendengar ucapan Shani. Dalam benaknya, tidak menyangka bahwa teman gadisnya itu akan mengalami nasib kehidupan yang sangat prihatin. Tapi, ia juga bangga, bahwa Shani bisa setegar itu menghadapi semua situasi sulit yang menimpanya.

"Kamu hebat, Shan. Bisa kuat melalui semua yang kamu alami. Kamu, bisa bertahan sampai sekarang dalam kerasnya kehidupan ini."

"Karena keadaan aja, Nin. Yang memaksa aku harus seperti itu."

Anin berpikir sejenak. Pikirannya tertuju pada sesuatu yang menurutnya dapat membantu Shani kembali. Dan, akhirnya ada sebuah ide yang muncul dalam pikiran Anin. Ia sangat yakin, dari idenya itu akan sangat membantu Shani.

22.22 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang