"Jadi bagaimana, apa kamu udah coba hubungi Gracia lagi?" Tanya Anin disela ia sedang merapihkan meja baristanya. Shani menggeleng pelan seraya memaksakan seutas senyum getirnya.
"Udah. Dua kali aku coba hubungi dia, tapi gak ada tanggepan sama sekali." Ia menghela nafasnya pelan seraya tangan sebelah kirinya ia jadikan topangan dagunya diatas meja bar.
"Aku udah bisa nebak, sih."
"Gimana kalau nanti pas aku ketemu dia, ya? Yang ada malah kabur pastinya." Raut wajah Shani menunjukkan keraguan yang kian membesar.
"Gapapa, kamu coba temui dia aja dulu. Masalah nanti dia mau atau enggaknya atau bahkan juga dia malah kabur, ya itu urusan belakangan. Yang paling penting, niat kamu buat ketemu dia karena dia harus tahu alasan kamu mutusin dia di malam itu." Anin tampak coba meyakinkan Shani agar ia jangan merasa ragu dengan keinginannya itu.
Shani menghela nafasnya pelan. Keraguan akan bertemu dengan orang yang ia cintai sampai saat ini terasa begitu bergejolak. Terlebih, ia yang mencoba untuk menghubunginya malam kemarin dengan menanyakan kabar terhadap gadis yang pernah ia tinggalkan karena suatu alasan dan juga mengucapkan selamat tidur dengan penuh perasaan, tidak mendapat respon sama sekali darinya.
Bagaimana bisa ia akan bertemu dengan gadis tersebut, dengan memulai sebuah basa-basi yang berharap bisa menjadi sebuah percakapan panjang akan berjalan mulus kelak dipertemuan yang ia rencanakan, namun justru hasilnya tidak ada(?)
Semua memang terjadi karena kesalahannya 2 tahun silam, dimalam itu. Malam yang menurutnya adalah malam yang terlalu menyakitkan. Baik bagi Shani maupun Gracia.
"Gak tahu, Nin. Apa aku nyerah aja kali, ya?"
Seketika, mendengar ucapan Shani, Anin menghentikkan aktivitasnya sejenak. Menatap tajam kepada Shani hingga akhirnya ia berjalan dengan cepatnya untuk keluar dari area meja baristanya itu dan menghampiri Shani.
"Maksud kamu! Kamu mau nyerah aja, gitu? Jangan jadi manusia lemah deh, Shan." Anin yang kini berdiri dihadapan Shani yang masih duduk itu, tampak berbicara sinis beserta tatapannya itu.
Shani menelan ludahnya seketika. Dalam dugaannya, tidak menyangka bahwa Anin akan seperti itu saat ini terhadapnya.
"Engg--enggak gitu, Nin. Bukan aku--" Ucapan Shani lagi-lagi terpotong oleh Anin.
"Shan? Lihat mataku, Shan! Lihat mataku!" Kedua tangan Anin terulur, meraih pundak Shani lalu memegangnya. Beruntunglah situasi kafe sedang tidak ada pengunjung, hanya Shani seorang saat ini. Anin menatapnya dengan lekat.
Melihat Anin yang menatapnya dengan lekat, Shani hanya terdiam. Kedua matanya perlahan menunjukkan gestur akan lirih yang tercipta dari kedua bola matanya itu.
"Kalau kamu emang beneran masih ada rasa sama dia, hapus semua keraguan kamu saat ini. Kamu buktikan sama dia kalau kamu sampai detik ini masih bener-bener sayang sama dia. Kesalahan kamu bukanlah sebuah alasan kalau kamu harus mundur untuk menghadapi sesuatu yang menurut kamu harus kamu perjuangkan. Kesalahan kamu sepenuhnya bukan kesalahan kamu, melainkan karena keadaan lain yang memaksa kamu harus meninggalkan dia. Masalah dia akan seperti apa sama kamu nantinya, jangan kamu pikirkan dulu. Yang paling penting, kamu harus berani untuk ngomong yang sebenarnya terjadi sama Gracia, okey?" Cengkraman Anin dipundak Shani sedikit ia kencangkan.
Shani memejamkan kedua bola matanya. Rasanya, apa yang dikatakan oleh Anin adalah senjata rahasia yang meluluhkan hatinya. Meluluhkan hatinya yang penuh keraguan dan menjadikannya sebuah keyakinan.
Memang betul, apapun yang terjadi, gimana nanti saja(?)
"Nin?" Shani perlahan membukakan kedua bola matanya. Anin tidak menjawab, masih menatap bola mata Shani, namun perlahan kedua tangannya melepaskan pegangannya dari kedua pundak Shani.
KAMU SEDANG MEMBACA
22.22 (END)
Romance"Waktu itu kamu pergi tanpa permisi, kenapa sekarang harus repot-repot kembali, Shani?" "Ada banyak hal yang gak kamu mengerti, Gracia." "Dan, ada banyak hal yang kamu gak mengerti tentang gimana perasaan aku selama 2 tahun lebih menahan sakitnya y...