Sang Penghibur

1.5K 145 3
                                    

Gracia menangis sejadi-jadinya didalam kamar tidurnya. Pintu kamar yang ia kunci rapat-rapat. Serta, ia menangis dengan menutupi wajah cantiknya dengan bantal. Sang Ibu yang sedari awal melihat kepulangan anak semata wayangnya itu bertingkah aneh, berlari secepat mungkin tanpa menghiraukan seruannya untuk makan.

"Gre ... Gre! Kamu kenapa, sayang?" Ibu Gracia mengetuk-ngetuk pintu kamar anak gadisnya beberapa kali, namun tidak mendapat tanggapan sama sekali. Yang ada, beliau mendengar isak tangis anak gadisnya itu.

"Kamu nangis kenapa, sayang? Ada yang nyakitin kamu atau, gimana?" Ibu Gracia masih setia menunggu anaknya untuk membukakan pintu kamarnya yang tertutup rapat.

Dari dalam kamar, Gracia tidak mempedulikan Ibunya yang memanggilnya beberapa kali. Dirinya saat ini masih dikuasasi rasa sakit hati yang mendalam atas pertemuannya dengan Shani dikafe tadi.

Sesuatu yang tidak dia harapkan. Sesuatu yang terjadi begitu saja diluar dugaan. Sesuatu yang tidak pernah disangka, bahwa ia akan kembali dengan orang yang pernah mengisi hatinya, bahkan ia cintai. Tetapi, kali ini tidak. Ia membencinya, lebih dari apapun.

"Aku benci kamu, Shani! Aku benciiiii!" Gracia melempar bantal yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya dari tangisannya ke sembarang arah. Meluapkan semua kekesalannya yang ia rasakan sangat menggebu.

Sang Ibu yang berada diluar kamar, lebih memilih untuk beranjak dari depan kamar Gracia. Membiarkan anaknya dengan kesedihan yang tidak beliau ketahui sama sekali.

"Kamu kalau mau makan, nanti dimeja ambil aja ya, sayang? Jangan lupa makan."

Gracia masih diam. Membiarkan sisa-sisa air matanya mengalir dengan derasnya membasahi kedua bola mata dan pipinya. Bola mata yang sembab, raut wajah yang lusuh serta rambut pendeknya yang terlihat berantakan. Gracia benar-benar kacau semenjak pertemuannya kembali dengan Shani.

Tring!

Ponsel Gracia yang berbunyi, menandakan satu pesan yang ia terima. Gracia membuka isi pesan tersebut, dan itu pesan dari Anin.

Gre, are you okay? Aku khawatir banget sama kamu atas pertemuan yang gak disangka-sangka sama Shani.

Gracia tidak membalas pesan singkat dari Anin. Ia malah membanting pelan ponselnya ke sebelah dirinya. Perlahan, Gracia beranjak dari atas tempat tidurnya. Berjalan menuju pintu kaca geser kamarnya, lalu membukanya dan ia menuju balkon kamarnya yang minimalis.

Balkon kamar yang minimalis. Dengan hiasan lampu-lampu kecil yang saling terhubung antar kabel yang menempel di dinding. Serta, balkon kamarnya yang terpajang dua buah sofa minimalis dan juga meja tamu minimalis. Tidak lupa juga, ada diatas meja tersebut terpasang vas bunga kecil yang menghiasi meja tersebut.

Gracia berdiri ditepian balkon kamarnya. Memandang langit malam yang mulai tampak. Karena menurutnya, disaat kesulitan cobalah memandang langit. Ia melakukan hal seperti itu, berharap kesulitannya saat ini akan segera menghilang. Kesulitan hatinya akan masa lalu yang kembali hadir. Kali ini, masa lalunya itu hadir secara nyata dihadapan dirinya. Dialah, Shani.

Sudah hampir 10 menit lebih ia berdiri ditepian balkon kamarnya. Terkadang, selain memandang langit malam saat ini, ia melihat ke arah bawah jalanan perumahan yang sepi itu. Entahlah, saat ini hatinya benar-benar tidak tahu harus apa dan bagaimana(?)

Ia seperti kehilangan jati dirinya. Semula, ia yang meyakini dan bahkan sempat percaya diri dengan sangat hebatnya, bahwa dirinya telah melupakan sosok Shani. Namun, hanya pertemuan sesaatnya yang sangat diluar dugaan, meruntuhkan segalanya.

Gracia kembali berjalan ke dalam kamarnya. Setelah dirinya selesai dengan keinginannya untuk menenangkan diri dibalkon kamar, perutnya yang terasa meronta-ronta untuk makan. Begitu ia berjalan melewati ponselnya yang tergelatak diatas kasur, kembali Gracia mendapati ponselnya yang berbunyi. Dengan malas, ia meraih dan membuka isi pesan yang diterimanya kembali.

22.22 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang