"Intinya, kamu jangan sedih terus, ya, Gre? Ingat, always smile!"
Gracia yang sudah bersiap diatas sepeda motornya itu, mengangguki perkataan Anin.
"Makasih, ya, Nin? Kamu selalu saja bisa buat aku semangat lagi." Ucapnya disela ia memakaikan helm retro miliknya.
"Sebagai teman yang baik, aku harus bisa ada buat kamu, Gre."
"Selain kopi buatan kamu yang candu, ternyata, kata-kata kamu juga jadi candu buat aku untuk selalu semangat."
Anin terkekeh mendengar ucapan Gracia, "Bisa aja, kamu."
"Yang lebih jelasnya, coffee latte buatanmu, numero uno." Kata Gracia diiringi ia mengembangkan kedua jempol tangannya. Anin lagi-lagi terkekeh dibuatnya.
"Berlebihan kamu, Gracia. Dah, sana pulang. Tahu kan, Bandung jam-jamnya macet kalau masuk jam segini." Anin yang melihat jam tangannya, kini menunjukkan pukul 18:30 WIB.
Gracia yang kemudian menghidupkan sepeda motornya. Ia tampak bersiap untuk meninggalkan kafe langganannya itu.
"Anin, main kerumah ku dong? Nanti, aku masakin yang enak buat kamu."
"Emang, kamu bisa masak apa?"
"Hmm, nasi." Gracia tersenyum nyengir yang menampilkan deretan giginya yang rapi nan putih.
"Yeeee, itu juga aku bisa atuh, Neng Gracia."
"Haha, enggak.. enggak. Beneran, aku bisa masak yang lain kok. Ya udah, aku pulang dulu ya, Nin?" Gracia pun mulai melajukan sepeda motornya, namun, Anin malah memanggilnya kembali.
"Greee!"
Sontak, Gracia mengerem dadakan begitu mendengar Anin memanggilnya, "Apa, Nin?"
"Kabari aku, kalau ada apa-apa, ya?"
Gracia mengangguk mantap.
"Iya, pasti. Aku kabari kamu kalau aku ada apa-apa. Dadah, Anin!" Akhirnya, Gracia pun meninggalkan Anin yang masih berdiri di parkiran motor kafe.
Anin menghela nafasnya pelan setelah kepergian Gracia. Ada yang terasa mengganjal dihatinya setiap ia mendengar cerita Gracia tentang, Shani.
Gre, semoga kamu paham kenapa aku berusaha selalu ada buat kamu.
***
Sepanjang perjalanannya mengendarai motor, kalimat-kalimat Anin masih begitu terngiang-ngiang dengan jelas di telinga Gracia. Anin yang selalu menyemangatinya berkali-kali dan itu pula yang menjadikan Gracia terkadang bisa kembali ke percaya dirinya yang tinggi dan semangat hidup menjalani apapun. Walau terkadang, ingatan akan sosok Shani bisa secara tiba-tiba datang begitu saja tanpa permisi merasuki ke dalam pikiran Gracia.
Jalanan kota Bandung yang mulai macet, sama halnya dengan Jakarta. Kendaraan yang cukup padat merayap, membuat terkadang baik Gracia ataupun siapapun akan merasa jenuh dengan kemacetan ini. Jalan raya menuju tempat tinggalnya, yakni di perumahan Dago Residence yang memang langganan macet. Tetapi, beruntunglah Gracia. Dikarenakan memang ia mengendarai sepeda motor maticnya, ia bisa menggunakan celah pinggiran jalan raya bersama pengendara roda dua yang lainnya.
Sesampainya kemudian, gerbang perumahan tempat tinggal Gracia bagaikan ucapan selamat datang untuknya. Menyambut kepulangan Gracia setelah seharian dengan aktivitas kampusnya. Perumahan yang tidak terlalu ramai akan penduduk. Perumahan yang cukup elite nan asri ini, tentu membuatnya sangat nyaman untuk di tempati oleh siapapun, termasuk Gracia.
Cluster rumah Gracia tidak terlalu jauh dari gerbang masuk. Kemudian, sampailah ia di depan rumah miliknya. Rumah dengan design modern nan klasik yang terdiri dengan 2 lantai dan gerbang rumah berwarna hitam. Gracia segera memasuki pekarangan rumahnya dan memasukkan motornya. Lalu, ia pun masuk ke dalam rumahnya kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
22.22 (END)
Romance"Waktu itu kamu pergi tanpa permisi, kenapa sekarang harus repot-repot kembali, Shani?" "Ada banyak hal yang gak kamu mengerti, Gracia." "Dan, ada banyak hal yang kamu gak mengerti tentang gimana perasaan aku selama 2 tahun lebih menahan sakitnya y...