Kring! Kring! Kring!
Kesan, Gracia, adalah merasa terganggu. Ketika suara telponnya itu harus berbunyi dan membangunkannya ditengah tidurnya yang lelap.
Dengan mata yang masih sembab akibat tangisannya bersama, Mira, karena, Mira, yang memilih untuk mundur dan meninggalkan, Gracia, secara terang-terangan, Gracia, memaksakan untuk menjawab panggilan telpon yang ditujukan kepadanya.
"Anin? Ngapain malem-malem gini, sih, nelpon?" Gumamnya begitu layar ponselnya menampilkan nama kontak 'Anin' yang ternyata menelponnya.
"Halo, Nin? Kenapa, malem-malem, gini, kamu nelpon?"
Dari suara telpon yang berbunyi, ada isak tangis dari, Anin, yang tertangkap dengan jelas oleh pendengaran, Gracia. Tentu saja, Gracia, menjadi terkejut sekaligus khawatir, bilamana ada sesuatu yang terjadi kepada, Anin.
"Nin! Anin?! Halooo! Kamu, baik-baik aja, 'kan?"
"Hiks! Greeee....."
"Anin! Kamu, kenapa? Jawab, Nin! Kamu, kenapa? Kamu, kena musibah?" Gracia yang semakin penasaran kenapa, Anin, masih terisak dengan tangisannya. Sedangkan, apa yang, Gracia, tanyakan masih belum ia jawab.
"Sh-Shani. Shani, Gre."
Gracia semakin mengerutkan keningnya, "Shani? Kenapa, emang, Nin? Ada apa dengan, Shani?"
"A-aku mau ngasih tahu. Kalau, Sh-Sha-Shani. Shani mengalami kecelakaan, Gre."
Deg!
Seketika, sekujur tubuh, Gracia, terasa lemas. Mulutnya yang menganga dengan getarannya, ponselnya yang berada ditangannya, pun, terlepas begitu saja dan terjatuh.
Kedua tangan, Gracia, yang sontak menutup mulutnya. Air matanya yang akhirnya mulai berjatuhan dengan derasnya. Terkejut? Tentu saja, bahkan, rasanya, Gracia, seperti mati rasa mendengar kenyataan, bahwa, Shani, si mantan kekasihnya, harus mengalami kecelakaan.
"Sha-Shani.... Enggak... Gak! Gak mungkin!"
"Ha-halo, Gre. Kamu, masih denger aku, 'kan?" Suara, Anin, masih terdengar jelas diponselnya yang tergeletak itu. Dengan cepat, Gracia, meraih kembali ponselnya.
"Nin? Sekarang, Shani, dirumah sakit, mana?" Dengan air matanya yang masih terus saja berjatuhan, Gracia, ingin memastikan di rumah sakit mana, Shani, saat ini berada.
Setelah mendapatkan informasi rumah sakit yang menangani kondisi, Shani. Gracia beranjak dengan cepat meraih sweater berwarna ungu miliknya. Berjalan cepat menuruni beberapa anak tangga rumahnya, dan mencari keberadaan kunci mobil milik, Ibunya.
Setelah didapat, tanpa memberitahukan, Ibunya, bahwa ia akan pergi kerumah sakit, Gracia, menyalakan mobilnya dan mulai berjalan meninggalkan komplek perumahannya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tangisan, Gracia, masih saja menghiasi wajah cantiknya. Dalam benaknya, ada penyesalan sekaligus rasa bersalah terhadap, Shani. Bahwa ia, telah mengacuhkan keberadaan, Shani, saat ini.
"Gre, maafin aku."
"Aku, masih mencintai kamu, Gre."
Bayang-bayang setiap kalimat permohonan maaf dan pernyataan perasaan, Shani, kepada dirinya, masih terngiang-ngiang sangat jelas didalam memori otak, Gracia. Ada rasa sadar yang perlahan terbuka dari dalam hati, Gracia. Bahwa, Shani, memang sangat masih mencintainya.
Semakin mengingat setiap kali, Shani, memohon dan berusaha menjelaskan sesuatu kepada, Gracia, mengapa dulu, Shani, meninggalkannya, semakin membuatnya larut akan tangisannya ditengah ia yang tengah mengemudikan mobilnya. Rasa bersalah itu, semakin menjadi yang, Gracia, rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
22.22 (END)
Romantizm"Waktu itu kamu pergi tanpa permisi, kenapa sekarang harus repot-repot kembali, Shani?" "Ada banyak hal yang gak kamu mengerti, Gracia." "Dan, ada banyak hal yang kamu gak mengerti tentang gimana perasaan aku selama 2 tahun lebih menahan sakitnya y...