True Love (End)

4.1K 227 28
                                    

"Gre?"

Suara itu, suara yang sangat dikenal, Gracia. Gracia langsung merubah pandangannya ke arah sumber suara tersebut. Kini, seorang gadis yang sangat ia kenali, tengah menatapnya tersenyum dengan sangat cantik. Walaupun, perban yang melingkar dikepalanya akibat luka yang masih membekas, serta kaki dan tangannya pun yang berbalut perban. Serta, ia yang terduduk diatas kursi roda. Dialah, Shani Indira Natio.

"Sh-Sha-Shani?" Gracia yang terkejut itu pun segera bangkit dari kursi taman rumah sakit. Sekali lagi memastikan, bahwa apa yang ia lihat, bukanlah mimpi yang belakangan ini selalu hadir didalam tidurnya.

Ada ketidakpercayaan yang, Gracia, lihat saat ini. Melihat bahwa, Shani, kini sudah bangun dari tidur panjangnya. Gracia, yang masih membulatkan kedua bola matanya yang berkaca-kaca. Perlahan, air matanya berjatuhan dari kedua bola matanya.

"Kok diem? Katanya, kangen sama aku?" Shani, tersenyum malu-malu dengan ucapannya. Gracia, yang masih mematung itu, lantas berlari kecil menghampiri, Shani, dengan cepat.

"Ka-kamu... Kamu... Beneran, Shani, 'kan?" Begitu berada dihadapan, Shani, tangan kanan, Gracia, perlahan nan bergetar, meraih pipi, Shani. Setelah tangannya mendarat di pipi, Shani, Gracia tersadar, bahwa benar adanya, ini bukanlah sebuah mimpi. Ini memang nyata.

"Beneran, kok. Ini aku, Shani. Aku, masih ada disini, untuk kamu, Gre."

Semakin deras aliran air mata, Gracia. Setelah mendengar jawaban, Shani. Isak tangis kebahagiaan itu kini pecah darinya. Kebahagiaan, bahwa, Shani, masih diberikan kesempatan untuk melanjutkan hidupnya.

Gracia, mengusap-ngusap lembut pipi, Shani. Shani, yang merasa sangat nyaman akan perlakuan, Gracia, meraih tangan, Gracia, yang berada dipipinya itu. Memegang lembut tangan, Gracia, agar tidak lepas dari pipinya.

Begitupun dengan halnya, Gracia. Ada tetesan air mata, Shani, yang berjatuhan membasahi kedua pipinya. Air mata itu, adalah air mata kebahagiaan, sama halnya dengan, Gracia. Kebahagiaan akan dirinya yang masih diberi kesempatan oleh, Tuhan, untuk melanjutkan hidupnya, dan juga, akhirnya, Gracia yang kini berada dihadapannya.

"Kamu, kenapa nangis?" Shani, masih betah dengan tangan, Gracia, yang berada dipipinya. Gracia tersenyum mendengar pertanyaan, Shani.

"Aku bahagia, Shan."

"Karena apa?"

"Karena kamu."

"Aku juga sama, Gre."

Lantas, kini keduanya saling memeluk erat satu sama lain. Rona-rona kebahagiaan yang akhirnya tercipta kembali. Menyalurkan perasaannya satu sama lain, bahwa mereka memang saling mencintai satu sama lain.

"Maafin, aku, Shan? Aku udah-," Isak tangis, Gracia, ditengah pelukan eratnya dengan, Shani.

"Gak apa-apa, Gre. Gak ada perlu dimaafkan. Yang jelas, saat ini aku sangat bahagia, karena kamu adalah orang yang aku tunggu pas aku udah sadar kayak, gini."

Gracia mencium lembut kepala atas, Shani. Sebagai bentuk dirinya memang sangat menyayanginya.

"Aku bener-bener nyesel, Shan. Gak mau dengerin omongan kamu dari awal, gak mau nerima maaf kamu. Aku emang egois. Aku bener-bener bodoh banget."

Dengan tangan kanan, Shani, yang berbalut perban serta rasa sakitnya, ia memaksa untuk mengusap lembut punggung, Gracia. Baginya, sudah cukup untuk tidak perlu lagi ada yang harus dijelaskan, ataupun dimaafkan. Semua sudah berlalu, biarkanlah berlalu yang sudah-sudah. Karena saat ini, takdir telah mempertemukan mereka kembali.

"Udah, ya, Gre! Jangan bahas itu lagi. Udah cukup semuanya, yang udah biarkanlah berlalu seiring berjalannya waktu. Saat ini, Tuhan, telah memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu kembali. Dan juga, menyatukan cinta kita yang sempat runtuh akibat kesalahanku." Shani melepas pelukan, Gracia. Kini, pandangan keduanya saling bertemu.

22.22 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang