33. Aneh

14.3K 451 8
                                    

Aku tidak tau apa yang ada di pikiran kak Nicho. Entah dapat dari mana ide gila untuk menghamili kak Fely. Sebegitu cintanya kah kak Nicho. Sampai harus menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kak Fely kembali.
Bukankah hal itu akan membuat kak Fely semakin benci padanya.?
Aku sama sekali tidak bisa memahami pikiran laki - laki. Bagaimana bisa menyelesaikan malasah dengan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.

"Nggak ada cara lain Je, Fely itu keras kepala. Kakak yakin dia belum menikah. Dia bahkan nggak mau cuma sekedar buat nunjukin foto laki - laki yang dia bilang sebagai suaminya."
Keluh kak Nicho putus asa.

"Aku tau kak, tapi nggak gitu juga caranya. Bagaimana kalau aku yang ada diposisi kak Fely, apa kak Nicho bakal diem aja kalau aku dihamili,?!" Geramku kesal. Aku ingin membuatnya sadar, kalau cara yang akan dia ambil bisa menyakiti bahkan menghancurkan hidup seseorang.

Kak Nicho diam, aku yakin dia mulai bisa berfikir dengan baik. Kak Nicho paling takut jika aku dirusak oleh laki - laki, dia pasti akan mengurungkan niat jahatnya itu.

"Kakak nggak tau lagi gimana caranya bujuk Fely, Je,," Kak Nicho terlihat sedih. Berulang kali dia mencengkram kuat rambutnya.

"Aku bakal bantuin kakak. Biar aku yang bicara baik - baik sama kak Fely. Kakak hanya perlu kasih alamat kak Fely, besok aku akan kesana setelah pulang sekolah,,"
Mata kak Nicho nampak berbinar menatapku. Mungkin dia melihat secerca harapan dari usaha yang akan aku lakukan untuknya.

"Kamu emang adik yang bisa di andalkan. Kakak nggak nyangka kamu jadi pinter dan semakin dewasa,,," Pujinya. Dia menarik gemas pipiku.

"Jangan seneng dulu kak, ini nggak gratis loh,," Kataku.

"Tenang aja. Kamu mau minta apa.? Liburan ke Eropa.?" Tawarnya.
Kak Nicho memang paling mengerti, dia tau jika aku lebih suka diberi hadiah liburan ketimbang dibelikan barang - barang mewah. Tapi sayangnya saat ini aku tidak ingin berlibur.

"Aku nggak pengen liburan kak."

"Terus.?"

"Aku mau kakak bujuk papa buat batalin kuliah aku di New York. Aku mau kuliah disini aja. Pleasee,,, bujuk papa ya kak,,," Ucapku memohon.

"Jadi papa sudah daftarin kamu di New York.?"
Aku langsung mengangguk.

"Aku nggak mau jauh dari mereka kak. Tinggal satu rumah sama mereka aja, aku masih ngerasa kesepian. Gimana kalau aku jauh dari mereka. Lagipula kuliah kakak selesai dua tahun lagi. Itu artinya aku akan sendirian disana selama satu tahun. Terus siapa yang bakal jagain aku nanti,,?"
Ucapku panjang lebar untuk beralasan. Meskipun bukan itu alasan utamaku, namun apa yang aku katakan pada kak Nicho tidak semuanya bohong.

"Oke,, biar kakak yang bujuk papa. Kamu nggak usah khawatir."
Aku sangat senang mendengar jawaban dari kak Nicho. Akhirnya aku masih bisa tinggal disini, agar aku bisa terus bersama om Kenzo tentunya.

"Makasih kak,," Seru ku sembari memeluk kak Nicho.

*


Sore itu setelah aku pulang sekolah, aku dan kak Nicho beserta mama dan papa berkumpul di ruang keluarga. Hari ini mereka memang sengaja pulang lebih awal. Selain karna kak Nicho ada di rumah, juga karna kak Nicho yang sudah meminta mereka untuk berkumpul. Semudah itu mereka menuruti keinginan kak Nicho, berbeda jika aku yang meminta mereka untuk berkumpul. Pasti akan banyak alasan yang keluar dari mulut mama maupun papa.

Kak Nicho memang istimewa di mata mereka. Tapi istimewa dalam hal untuk mewarisi bisnis dan perusahaan mereka.
Mungkin itu yang membuat mama dan papa lebih perhatian dan mengistimewakan kak Nicho. Karna mereka sadar, hanya kak Nicho lah yang bisa menjalankan bisnis mereka nantinya.

"Gimana kuliah kamu Nich.? Papa harap kamu bisa menyelesaikan kuliah satu tahun lebih cepat. Papa sudah kewalahan, kamu harus segera turun tangan ke perusahaan,,"
Papa membuka pembicaraan tanpa basa - basi. Ya,, begitulah papa. Tidak ada yang lebih penting dari bisnis dan perusahaannya. Bahkan sejak kemarin, papa tidak menanyakan kabar kak Nicho.

"Lancar pa. Papa nggak perlu khawatir, aku akan menyelesaikan kuliah secepat mungkin."

Jawaban yang mengejutkan. Aku pikir kak Nicho akan kembali memberikan keluh kesahnya pada papa. Tapi dari jawaban yang terlontar dari mulutnya, aku rasa kak Nicho sudah menerima semua keputusan papa dengan ikhlas.

"Bagus kalau gitu. Memang sudah seharusnya kamu membantu papa untuk memimpin perusahaan."

"Kamu masih ingat om Andreas yang dulu tinggal di Paris,? Saat ini perusahaannya juga lebih banyak di handle oleh putranya. Usianya juga nggak beda jauh sama kamu, cuma terpaut enam tahun lebih tua dari kamu."

"Kamu harus banyak belajar dari dia, sejak seusia kamu, putra om Andreas sudah terjun ke perusahaan."

Kau dan mama hanya diam menyimak ucapan papa. Kak Nicho pun cuma mengangguk pelan untuk menanggapinya.

Kini papa beralih menatapku. Entah apa yang akan dia bicarakan padaku.
"Bukannya sebentar lagi kamu ujian Je.? Kamu juga harus mempersiapkan diri untuk kuliah. Kamu akan tetap kuliah di New York,,,"

Aku langsung menatap kak Nicho, tatapan yang mengisyaratkan jika aku butuh bantunya saat ini juga.

"Pah,, jangan terlalu memaksakan kehendak pada Jeje. Lagipula siapa yang akan menjaga Jeje disana.? Kuliahku sebentar lagi selesai. Biarkan saja Jeje kuliah di sini, dia bisa melanjutkan di New York untuk magisternya nanti."
Aku bernafas lega mendengar pembelaan dari kak Nicho. Semoga saja papa mau mempertimbangkan ucapan kak Nicho.

"Jeje sudah besar Nich. Papa percaya Jeje bisa jaga diri. Kamu lihat, selama ini dia tidak pernah mengecewakan kami." Papa mengusap lembut kepalaku.
Entah kenapa aku jadi merasa bersalah padanya. Aku sudah mengkhianati kepercayaan papa padaku. Kalau saja papa tau, aku memiliki hubungan terlarang dengan rekan bisnisnya, mungkin papa akan sangat kecewa padaku.

"Tetap saja Jeje masih butuh pengawasan pah. Dia perempuan, berbeda dengan anak laki - laki. Biarkan Jeje kuliah disini, atau aku yang tidak akan melanjutkan kuliah disana,,"
Aku terkejut mendengar kak Nicho yang memberikan ancaman pada papa.

"Nicho.!!" Tegas papa. Papa nampak tidak suka dengan cara kak Nicho.

"Sudah lah pah, lagipula benar apa yang Nicho bilang. Mama juga merasa khawatir kalau Jeje harus tinggal di New York sendirian."
Aku menatap mama tak percaya. Aku pikir mama akan tetap berada di kubu papa. Tapi ternyata dia menyetujui usulan kak Nicho.

Papa menatapku tanpa berbicara apapun.
"Jeje mau kuliah disini aja pah. Jeje nggak mau tinggal sendirian,," Aku memeluk papa untuk menyakinkan sandiwara ku. Aku akan melakukan apapun agar tetap berada disini. Tentunya agar hubunganku dan om Kenzo terus berlanjut sampai waktunya berakhir.

*


Aku langsung masuk kedalam kamar. Bahagia sekali rasanya,,,,
Akhirnya papa tidak lagi memaksaku untuk kuliah di luar negeri. Dia membebaskanku untuk masuk di Universitas yang ada disini. Itu artinya aku masih bisa berhubungan dengan om Kenzo.
Aku merebahkan diri di kasur super empuk milikku ini. Menatap langit - langit kamar sembari mengkhayal akan kebersamaanku bersama om Kenzo. Dering ponsel di atas nakas, mengakhiri khayalan indahku. Awalnya aku kesal, namun setelah tau siapa yang menghubungiku, rasa kesalku lenyap begitu saja.
Untuk pertama kalinya om Kenzo menelfon ku.

"Hai om,,," Aku menyapanya dengan hati yang berbunga. Suasana hatiku sedang baik saat ini setelah papa mengijinkanku untuk kuliah di sini, di tahambah om Kenzo yang menelfon ku.

“Hmmm. Kamu dimana.?"
Hanya mendengar suaranya saja aku sudah sesenang ini. Padahal kami baru bertemu dua hari yang lalu.

"Di rumah. Ada apa om,,?"

"Baik - baik disana, jangan keluyuran nggak jelas setelah pulang sekolah."
Aku sedikit heran mendengar pesan dari om Kenzo.

"Iya om,, aku emang nggak pernah keluyuran kok. "

"Yasudah, nanti aku telfon lagi,,"

"Om,,,,

"Ya ampun, apa - apaan om Ken ini.!"
Aku menggerutu kesal karna om Kenzo mematikan telfonnya begitu saja. Maksudnya apa coba.? Menelfon ku hanya untuk menanyakan keberadaanku dan menyuruhku untuk tidak keluyuran. Aneh sekali om Kenzo.

*****

My SugarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang