Bagian 35

716 43 0
                                    

Robi dan Jihan berjalan beriringan menuju parkiran motor, Jihan tak henti hentinya tersenyum sambil sesekali mengelus perutnya.

3 minggu usia kehamilannya saat ini, itu artinya sudah 3 minggu ia membawa nyawa lain ditubuhnya, yaitu darah dagingnya, anak pertamanya.

Hal itu akan ia rahasiakan dari Robi, lebih tepatnya ia ingin memberi kejutan pada Robi nantinya.

Sesampainya diparkiran, Robi terlihat kebingungan.

"Kenapa mas?"

"Oh nggak sayang, ini pake ya jaketnya." Ujarnya mengambil kresek hitam dari jok motornya yang berisi jaket milik Jihan.

"MasyaAllah suamikuu.." Jihan kegirangan lalu memeluk Robi dari samping.

Robi tergelak melihat tingkahnya, "Apa sih kamu."

Jihan merengut, "Kamu?"

"Hm?"

Jihan mendongak melihat Robi, "Aku tadi bilang suamiku loh mas."

Robi yang kini memahami maksud Jihan tertawa renyah, "Iyaa istrikuu, ya Allah.." ujarnya tak lupa mengelus punggung Jihan yang masih berada dipelukannya.

Jihan tersenyum puas lalu mengeratkan pelukannya sambil menggerak-gerakkannya gemas. Suami siapa sih ini? Eh-

"Ya udah yuk pulang."

Jihan mengangguk lalu melepas pelukannya, "Jangan ngebut ya mas."

"Siap bu." Ucapnya dengan tangan hormat.

"Kok bu sih mas, berasa ibu-ibu aku."

"Ya kan calon ibu dari anak anak aku."

"Hiihh geli ah!" Ucapnya memukul lengan Robi yang membuatnya meringis.

"Kok geli? Kan bener yang?"

"Iya emang bener, tapi geli aja dengernya, mana muka mas gitu lagi barusan."

"Gitu gimana? Muka aku ganteng tiap hari."

"Duh mas apa sih maass, aku cakar nih." Ujar Jihan berancang-ancang untuk mencakar wajah Robi.

Robi terkekeh, "Jujur aku juga geli sih yang ngomongnya, baru sekarang aku ngomong kayak gitu loh. Nih, lidah aku aja gatal sekarang." Ujarnya menggesekkan deretan giginya pada lidahnya yang membuat Jihan gemas ingin mencubit keras lengannya. Untung saja Jihan tidak lupa bahwa dia adalah suaminya. Dia tidak ingin jadi istri durhaka.

____

Dinda mengucap salam yang disusul oleh Lutfi, lalu mereka masuk kedalam rumahnya.

Lutfi yang sejak tadi memperhatikan Dinda sampai tidak sadar bahwa pintu rumahnya belum ditutup. Iapun berbalik untuk menutup pintu.

"Mas."

Baru saja berbalik arah, ia kembali membalikkan badannya. "Iya?"

"Boleh kita bicara sebentar?"

Lutfi mengangguk, "Iya boleh."

Setelah disetujui, Dinda duduk disofa ruang tamu. Lutfi melanjutkan langkahnya untuk menutup pintu terlebih dahulu lalu menghampiri Dinda.

"Kenapa Din?"

Dinda menautkan jari jari tangannya gugup, apakah ini benar-benar harus dibahas? Tapi jika tidak dibahas, hati Dinda akan terus gelisah, tak nyaman rasanya.

LEBIH DARI BAHAGIA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang