Jihan menenangkan hatinya melihat seseorang dihadapannya, Reza dan Robi berada dihadapannya, Ralat! Lebih tepatnya Robi yang berada dihadapannya.
Sungguh ini tidak nyaman, namun ia merasa sungkan jika menolak kesekian kalinya pada Salsa, toh ini hanya makan siang bersama, tidak ada yang perlu ia khawatirkan kecuali perasaannya yang masih labil.
Tidak mudah untuk mengendalikan hati baginya saat ini, mungkin karena keimanannya belum cukup kuat untuk mengontrol perasaannya kepada yang bukan Mahramnya.
Suasana tetap hening setelah Reza memesan makanan kepada pelayannya.
“Gue ke toilet dulu bang,” Robi berdiri kemudian pergi meninggalkan mereka bertiga.
Jihan menoleh mengikuti arah perginya.
Aneh, sejak ia datang jangankan berbicara melihatnyapun tidak, ia hanya mengucap salam, duduk lalu menunduk dan sekarang pergi.“Oiya Han.."
Jihan reflek mengalihkan pandangannya.
"Kita.. Emm aku sama Salsa bakal tunangan, dateng ya.”
Reza memperhatikan wajah Jihan, sengaja ingin mengetahui bagaimana responnya dari mimik wajahnya.
Sementara Salsa terlihat bingung karena ia tiba-tiba membicarakan pertunangannya yang tidak jelas kapan akan dilaksanakan, itulah yang membuat Salsa kesal padanya.
“Ohh iya, InsyaAllah.. kalau bisa dateng aku pasti dateng.” Jihan menjawabnya sambil tersenyum pada Salsa.
Salsa membalas senyumannya kemudian melihat Reza.
“Za, apaan sih.. Waktunya aja masih nggak jelas!” ujarnya kesal.
Kenapa harus membicarakan hal yang belum jelas? Dan kenapa juga membicarakannya pada Jihan saat ini?
“Yaa.. gpp, nanti kan diingetin lagi kalau udah deket-deket hari.” Reza kembali memperhatikan gerak gerik Jihan.
Meski rasanya sesak, Jihan berusaha untuk terlihat baik-baik saja dengan menampilkan senyumannya.
Seseorang menarik kursi dihadapannya membuat Jihan mengangkat pandangannya melihat Robi.
Bersamaan saat hendak duduk, keduanya saling memandang tanpa sengaja, lalu menunduk saat sadar pandangannya bertemu.
Entahlah, Jihan tidak ada nyali untuk menatap matanya.
Sementara Robi membenarkan posisi duduknya dengan nyaman, Apakah ia baru saja memandang gadis dihadapannya? Tetapi mengapa sinar matanya terlihat redup? Sama seperti di Jalan saat ia terkilir pagi hari itu,
Sebenarnya apa yang ia rasakan? Apakah hari harinya tidak menyenangkan? Pikirannya jauh menerka nerka tentang gadis yang dikaguminya.
Sementara itu di sisi lain Reza masih memperhatikan Jihan dalam diamnya, Reza memang tidak bisa membaca pikiran, namun jika dengan melihat ekspresi Jihan yang terkesan memaksakan senyumnya itu cukup membuat Reza yakin bahwa perkataan Desti benar. Ia terdiam sejenak kemudian mengangguk pelan memantapkan rencananya.
----
“Maafin aku ya Han, aku bener-bener nggak sengaja bilang gitu.. kamu marah ya?”
Mata Jihan masih sembab, Desti yakin ia tidak berhenti menangis selama beberapa jam dikamarnya.
Jihan baru membuka pintu kamarnya setelah Desti datang kerumahnya karena dihubungi oleh mamanya.
“Sekarang aku ngerti kenapa mereka tiba-tiba ngajak aku makan siang Des, aku ngerti..” Matanya kembali meneteskan air matanya membuat Desti tidak tega melihatnya.
“Han, nggak perlu ditangisin lagi,” Ujarnya menggenggam tangan Jihan.
"Kok dia jahat banget Des, hiks.. Apa maksudnya ngomongin pertunangan didepan orang yang suka sama dia.. Kok Reza jahat sama aku deess hiks hiks.."
"Yaa gimana, udah dong kok malah nangis lagii.."
“Yang kamu rasain ke Reza selama beberapa tahun ini emang wajar, tapi cara kamu yang kurang tepat Han, kamu terlalu mengharapkan dia tanpa melibatkan Allah? Pantes nggak kamu sakit hati terus? Panteslah, Allah itu pencemburu. Akhirnya kamu dibikin sakit hati kan biar kamu itu sadar kalau berharap sama manusia akan berujung kecewa apalagi bukan mahrom, Berharap itu sama Allah ga bakal kecewa!”
“Hiks.. aku gpp kok,” ucapnya menghapus air matanya kemudian tangisnya kembali pecah, hal itu membuat Desti segera memeluknya.
“Han.. jangan nangiiss, aku nggak bisa ngehiburnyaa..”
Diluar ekspetasi, tangis Jihan semakin menjadi-jadi, Ia mengira dengan bercandaannya akan membuat Jihan lebih tenang.
“Sttt, ya udah ya udahh keluarin aja dulu, nangis dulu gpp...” ujarnya mengelus punggung Jihan disela pelukannya.
Desti melepaskan pelukannya kemudian menghapus air matanya, “Udah ga usah nangis lagi, move on! Kamu pasti bisa.”
Desti mengambil tangan kanan Jihan dan mengangkatnya layaknya penerima piala kemenangan, “Kamu pasti bisa!”
Jihan tersenyum kecil padanya kemudian mengangguk. Desti kembali memeluknya dengan erat.
---
“Ketemuin lo sama Jihan? Ngapain?” Desti kesal mendengar ucapan Reza diseberang sana.
Jihan mungkin sudah tenang selama 2 minggu ini, apa lagi yang akan dia lakukan sekarang? Terkadang Desti berpikir bahwa Jihan salah dalam mengagumi seseorang seperti Reza.
“Ada yang perlu gue omongin sama dia, penting Des! Lo tenang aja, gue ga bakal nyakitin dia, dan yang paling penting gue serius sama Salsa.”
“Gue ga peduli lo serius atau nggak sama Salsa, tapi lo bakal nyakitin sahabat gue, Gila kali ya!” Emosinya mulai terpancing membuat suaminya turun dari lantai 2 untuk menghampirinya.
“Lo nggak tau kan setelah pulang dari restoran waktu itu dia nggak keluar dari kamarnya seharian? Lo pikir gue nggak tau lo ngomong apaan sama dia? Terus lo mau ngomongin apalagi hah? Ngomong apa lagi ceritanya gue Tanya!”
Andra menyuruhnya untuk tarik nafas agar lebih tenang namun tak dihiraukannya.
“Gue nyesel keceplosan waktu itu, andai lo nggak tau itu lebih bagus!”
“Lebih baik gue tau!” Bicara Reza menjadi lebih tegas terkesan sedikit membentaknya membuat Desti bergidik ngeri. Apakah ada yang salah dari ucapannya?
Reza menghembuskan nafas. “Hhh.. Sorry, tapi sekarang ini jadi masalah gue sama Jihan. Gue berterimakasih sama lo karena udah keceplosan kemarin, sekarang gue minta tolong banget sama lo, gue pengen ketemu Jihan, gimanapun caranya gue pengen ketemu dia.”
Desti diam, ia memandang suaminya meminta pendapat. Andra hanya mengangguk yang berarti menyetujuinya untuk membantu Reza.
“Gue usahain bujuk dia, tapi keputusan tetep ditangan Jihan.”
___
Apa ya yang bakal diomongin sama Reza?
See you...
KAMU SEDANG MEMBACA
LEBIH DARI BAHAGIA (TAMAT)
General FictionMenikah dengan Robi yang merupakan adik tingkat yang usianya lebih muda memang hal yang biasa, tapi bagaimana jika dia adalah adik ipar dari orang yang Jihan kagumi sejak SMA? Bagaimana kehidupan mereka setelah menikah dan kumpul dalam satu rumah ke...