Pagi ini gadis berhijab putih yang masih mengenakan piyama itu berjalan menuju dapur, mengambil segelas air putih kemudian duduk dan meneguknya.
“Jihan, mandi gih..”
Jihan menoleh kearah jam dinding yang berada diatas kulkas.
“Masih pagi ma,” ucapnya melihat jarum pendek berada di tengah-tengah angka 6 dan 7.
“Anak perawan itu jangan jorok, ntar ada yang ngekhitbah kamu sepagi ini gimana?”
Jihan terkekeh, “Mama ih.. nggak mungkin juga sepagi ini, ya kali ma.”
“Oh.. udah ada nih ceritanya?”
Jihan melebarkan matanya, salah ngomong nih kayaknya.
“Tinggal nunggu orangnya dateng dong mama,” ledek Risna, mamanya.
Jihan kembali meneguk minumannya tanpa menjawab pertanyaan mamanya.
“Yaa… doain aja ma, katanya Jihan udah waktunya punya calon.” Ujarnya membuat Risna tersenyum.
“Iyalah, tuh temen-temen kamu Desti udah nikah, Reza yang katanha temen SMA kamu itu sebulan lagi tunangan kan, anak tetangga sebelah juga udah ada yang ngekhitbah, anak temen arisan mama-”
“Ma, Jodoh Jihan masih mempersiapkan diri kali belum waktunyaa.” jawabnya frustasi.
Risna mendekat ke arahnya, “Dokter Lutfi gimana? Hmm mama setuju kok.”
Jihan sontak menoleh, “Ma apaan sih, udah ah Jihan bantu masak ya.”
Jihan berjalan ke arah kompor, mengaduk-aduk capjay yang mulai mengental. Ucapan Risna membuatnya mengingat kejadian sebulan lalu saat di RS.
“Maaf dok, dari tadi saya bingung sebenernya kita bahas apa yah?”
Lutfi tertawa pelan, manis dimata Jihan.
Jihan menunduk memejamkan matanya setelah menyadari bahwa baru saja ia memuji dokter muda dihadapannya ini.
“Boleh saya minta nomer whatsaap kamu?”
Jihan menarik napas, “Maaf dok, bukan apa-apa.. tap-“
“Oke. Nggak usah dilanjutin, saya udah cukup sering ditolak. Jangan lagi.”
“Ohh… hmm maaf.”
Jihan tak habis pikir, seorang dokter muda sepertinya sering ditolak? Perempuan seperti apa yang menolaknya? Aish, Apakah dia membicarakan dirinya sendiri?
Jihan tidak merasa sebaik itu harus menolak dokter Lutfi. Dia orangnya asik, hanya saja Jihan tidak terlalu menyukai interaksinya dengan perempuan.
Jihan menerima ajakan Lutfi hanya menghormatinya meski sebenarnya ia tidak ingin.
“Sekarang saya bingung, saya harus lanjut atau berhenti, langkah pertama aja saya udah gagal.”
Jihan hanya diam sambil menunduk, menunggu kalimat selanjutnya.
“Dan.. kayaknya saya harus berhenti, mungkin memang bukan kamu orangnya.”
Terdengar suara nafas berat Lutfi. “bukannya saya ngga mau berjuang lagi, tapi saya udah cukup sering berjuang sendirian dan nggak ada hasil.”
Apa hanya dengan meminta nomor whatsaap bisa dikatakan berjuang? Pikir Jihan.
“Saya beruntung dalam segala hal.. pendidikan, karir.." ucapnya terjeda.
"tapi sayangnya kalau urusan cinta kurang beruntung. Ibaratnya kalau di lebel minuman ada tulisan gosok disini yang setelah digosok muncul kalimat “coba lagi”"
KAMU SEDANG MEMBACA
LEBIH DARI BAHAGIA (TAMAT)
General FictionMenikah dengan Robi yang merupakan adik tingkat yang usianya lebih muda memang hal yang biasa, tapi bagaimana jika dia adalah adik ipar dari orang yang Jihan kagumi sejak SMA? Bagaimana kehidupan mereka setelah menikah dan kumpul dalam satu rumah ke...