Happy Reading
Ujian pra nikah memang sangat beraneka macam. Tapi aku tak menyangka kalau ujian untuk pernikahanku akan seberat ini. Aku tak tahu harus bagaimana sekarang. Aku takut kalau Mas Rendra membatalkan sepihak rencana pernikahan kami. Apa yang akan aku katakan ke Ayah dan Mama?
"Kamu boleh sakiti aku, tapi aku mohon bantu aku menjelaskan masalah ini ke Mas Rendra. Tunjukkan video itu kepadanya. Kalau kamu mau membantuku, aku akan maafkan kamu dan melupakan kejadian ini," ujarku.
Saat ini aku masih bernegosiasi dengan Panji agar dia mau memberikan video kebenaran itu.
Panji menatapku intens dan mendekat ke arahku. Apa yang akan dilakukannya sekarang?
"Aku mau kamu layani aku di ranjang. Lakukan seperti apa yang kalian lakukan tadi. Setelah itu aku akan memberikan video itu dengan sukarela. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu hamil dan itu anakku," balasnya sambil mendorongku ke ranjang.
"NGGAK!! SEKOTOR APAPUN DIRIKU, AKU NGGAK AKAN PERNAH MAU SAMA KAMU!!" teriakku.
"Reyn, kamu itu udah nggak suci lagi. Iya kalau Rendra ingat dia yang melakukan itu, kalau nggak gimana?" tanyanya sambil menahan tubuhku yang berusaha memberontak.
"Nggak, aku mohon sama kamu. Aku nggak bisa melakukannya sama kamu," jawabku dengan lemas.
"Oke kalau kamu nggak bisa, aku nggak akan maksa. Tapi batalkan rencana pernikahanmu dan Rendra, setelah itu kamu harus nikah denganku," ujarnya.
Gila saja, masa aku harus membatalkan pernikahan dengan Mas Rendra dan nikah dengannya. Jelas-jelas aku melakukan "itu" dengan Mas Rendra dan seharusnya dengan Mas Rendra juga aku menikah. Ahh sialnya saat itu kami sama-sama tidak sadar. Aku menyesal telah menerima minuman yang Panji berikan sebelum dia membawaku ke hotel.
"Baik, aku akan batalkan pernikahanku dengan Mas Rendra. Tapi, berikan dulu video itu padaku. Karena aku nggak akan percaya sama kamu," ujarku berusaha memersuasi.
Aku berpikir kalau video itu sudah berada di tanganku, Mas Rendra akan tahu segalanya dan dia akan membantuku bebas dari Panji.
"Tenang aja, aku akan kasih video ini setelah kamu bilang ke orangtua kamu kalau kalian nggak jadi menikah. Perkenalkan aku sebagai calon suamimu," balasnya.
"Gila kamu Panji. Kamu melakukan ini saja sudah menghancurkan impianku. Rencana pernikahanku sedang diujung tanduk dan kamu mau aku bilang ke orangtuaku kalau aku mau menikah sama kamu?" tanyaku frustasi.
"Ya terserah kamu. Aku akan beri kamu waktu dua hari. Kamu pikirin dulu aja. Dan berhubung ini masih jam empat pagi, kamu lebih baik disini dulu. Aku khawatir kalau kamu pulang sekarang. Nanti setelah sarapan akan aku antar kamu pulang," ujarnya sambil berlalu pergi.
Setelah dia pergi, aku pun ikut pergi. Ku pungut baju kerjaku, sepatu dan tas yang tergeletak sembarangan di lantai. Aku sudah tak peduli dengan baju kurang bahan dan ranjang yang berantakan. Aku langsung keluar hotel dan berjalan kemanapun kaki melangkah. Jujur aku sedikit takut berjalan tanpa arah di waktu seperti ini karena kondisi jalanan sangat sepi.
"Ya Allah ujian apalagi ini? Tolong buat Mas Rendra agar mau memahami kondisiku. Aku sangat dan akan selalu mencintainya. Apa yang harus aku lakukan?" ujarku seorang diri sambil terus menangis.
Beruntung aku tahu daerah ini karena tak jauh dari kosku. Tapi rasanya pulang jam segini bukan ide yang bagus. Toh gerbang kos juga masih tertutup.
Ku putuskan istirahat sejenak di masjid yang ada di dekat situ. Aku berusaha menenangkan diri sembari menunggu waktu subuh.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi dan aku bersiap untuk pulang. Rasanya tubuhku sudah tidak kuat lagi. Ku berjalan dengan lemas dan tanpa alas kaki. Semua pakaian dan sepatu aku masukkan ke kantong plastik, hanya tas yang aku selempangkan ke bahu.
Aku berhenti di jembatan tak jauh dari masjid tersebut. Aku bingung harus kemana sekarang dan tenagaku sudah terkuras habis. Mana terakhir makan saja kemarin pagi karena aku melewatkan makan siang demi terselesaikannya pekerjaan dengan cepat. Tapi semua itu malah menjadi boomerang untuk diriku sendiri. Pulang ke kos pun aku malas karena pasti akan jadi bahan omongan orang.
Tiba-tiba ada yang menarikku dari belakang. Sudah dapat dipastikan kalau ini sekawanan begal atau mungkin itu Panji. Tapi dugaanku salah, orang itu ternyata....
"Gila kamu. Kamu mau bunuh diri? Setelah apa yang kamu lakukan, dengan enaknya langsung bunuh diri?" teriak orang itu.
"Buat apa aku tetap hidup kalau kamu udah nggak percaya sama aku?" tanyaku pasrah.
Sumpah aku tak pernah berpikiran untuk bunuh diri. Aku hanya sedang menenangkan diri. Aku anak psikologi, jadi aku tahu apa yang harus dilakukan oleh orang yang hampir atau sudah depresi. Cuma aku butuh sedikit waktu sebelum melakukan itu.
"Terus kamu nggak mikirin Ayah dan Mama kamu? Kamu mau jadi anak durhaka?" tanyanya lagi.
Aku masih terisak, "Cukup Mas, jangan halangi apa yang akan aku lakukan. Kamu nggak peduli lagi sama aku kan? Yaudah sana pergi," usirku kepada Mas Rendra.
Ya, orang itu adalah Mas Rendra. Aku tahu dia masih peduli sama aku. Buktinya dia mencegahku dengan alasan orangtuaku. Entah kenapa aku malah mengusirnya.
"Oke kalau itu mau kamu. Jangan pernah tunjukkan wajah murahan kamu di depanku, anggap aja kita sudah selesai" ujarnya.
Aku mencoba menguatkan diri, "Kamu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi jadi jangan bicara seperti itu," balasku sambil berlalu pergi.
Aku berjalan menjauh darinya. Aku belum bisa mengatakan yang sebenarnya karena dia tidak akan percaya. Aku tahu Mas Rendra akan sangat kecewa saat tahu ada orang yang mengambil kehormatanku meski sebenarnya dia sendiri yang melakukan. Bukti yang meringankanku belum cukup kuat untuk saat ini.
Sesampainya di kos, aku langsung masuk ke kamar dan menguncinya. Aku butuh waktu sendiri. Aku belum siap kalau harus membaginya dengan orang lain. Ku berbaring dan terus menangis. Menangis dan terus meratapi nasibku saat ini. Rasanya benar-benar menyesakkan dada.
Seharian aku tak bangun dari tempat tidur. Tak mandi maupun makan. Rasanya tubuhku benar-benar lemas tak berdaya.
"Ssshhh perutku sakit banget. Apa magh ku kambuh ya?" keluhku.
Selain perut yang terasa sangat sakit, tubuhku juga meriang.
"Apa aku telepon Mas Rendra aja ya? Tapi dia nggak akan mengangkatnya. Dia udah terlanjur benci denganku," ujarku seorang diri.
Aku berusaha mencari handphone di tas dan menelepon salah satu sahabatku.
"Nav, tolongin aku. Perutku sakit banget ini. Aku nggak bisa bangun, kamu kesini sekarang ya," ujarku.
"Iya Reyn, kamu sabar ya. Aku otw sama Mas Rendra ini," balasnya.
"Jangan sama Mas Rendra aku mohon. Nanti kamu minta kunci cadangan sama bu kos ya," ujarku lagi.
Aku tak mau kena omel Mas Rendra lagi. Lagipula dia tidak akan peduli lagi denganku. Mau sesakit apapun diriku, dia tak akan repot-repot menolongku.
"Yaudah aku otw,"
Tak lama pintu kamar terbuka dan terlihat Navya yang cemas dan Mas Rendra dengan wajah cueknya.
"Reyn, kamu kenapa?" tanya Navya. Sedangkan Mas Rendra masih terdiam di depan pintu.
"Sakit banget Nav," keluhku.
"Mas Rendra, tolongin dong. Ini calon istri kamu lho yang sakit," ujar Navya.
Tak ada pergerakan dari Mas Rendra sedangkan aku semakin kesakitan.
"Mungkin kalian sedang bermasalah, tapi aku mohon Mas calon istrimu sedang sakit," ujar Navya lagi.
Mas Rendra mendekatiku dan langsung menggendongku.
"Aku tahu kamu masih peduli sama aku. Kamu hanya terlalu kecewa dengan apa yang terjadi sama kita,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Reyren (Completed)
ChickLitCinta, Kepercayaan, dan Pengorbanan Orang kalau sudah cinta dan percaya kepada pasangannya, akan melakukan pengorbanan apapun itu tanpa peduli kalau hal itu bisa saja menyakiti dirinya sendiri. Cinta, kepercayaan, dan pengorbanan adalah suatu hal...