Reyna akan cerita tapi Mama dan Alma harus janji nggak akan cerita ke siapapun
Happy Reading
Kejujuran terkadang terasa pahit dan menyakitkan. Tidak semua kejujuran itu berbuah manis. Meski begitu, kita dituntut untuk selalu jujur. Ada yang bilang berbohong lebih baik dengan alasan demi kebaikan bersama. Berbohong memang mudah tetapi akan menjadi candu tersendiri. Sepahit apapun, seburuk apapun, jauh lebih baik kalau kita berkata jujur.
Mungkin memang ini sudah waktunya aku menceritakan apa yang selama ini aku rasakan. Tapi apa aku sanggup menceritakannya? Karena hal itu sama saja mengungkit masa lalu dan seolah memutar kembali film yang sangat buruk.
Aku masih terisak di pelukan Mama Rani. Aku butuh menumpahkan semua air mataku di pelukan seorang Ibu yang sangat menyayangiku layaknya anak kandung.
"Udahh udahh kalau kamu nggak bisa cerita, Mama nggak akan maksa kamu. Kamu yang tenang dulu ya," ujar Mama Rani.
Aku belum bisa bicara apapun karena benar-benar tak mampu mengatakan sebagian atau seluruh kronologi itu.
"Mbak minum dulu biar lebih tenang," ujar Alma sambil membawa segelas air putih.
Aku menerimanya dan langsung meminumnya, "Makasih Alma,"
"Mbak maafin aku ya. Gara-gara aku, Mbak Reyn yang kena imbas kemarahan Mas Rendra," ujar Alma penuh penyesalan.
Aku tahu Alma melakukan semua itu demi diriku juga. Dia terlalu sayang kepadaku dan tidak ingin aku sakit hati karena ulah kakaknya.
Aku menggeleng, "Bukan salah kamu kok dek. Emang pernikahan Mbak sama Masmu udah nggak sehat," ujarku sambil memeluknya.
Aku menatap Mama Rani, "Ma, sebenarnya kami punya masalah yang sangat besar bahkan sebelum menikah. Reyna akan cerita tapi Mama dan Alma harus janji nggak akan cerita ke siapapun, termasuk Papa dan orangtuaku," ujarku.
Mama Rani ikut menangis, "Apa sebesar dan seprivasi itu sampai kamu mau cerita aja nggak bisa lepas?" tanya Mama pelan. Aku hanya mengangguk dan menangis. Pertahananku ternyata hancur dalam waktu sekejap.
"Mama nggak akan paksa kamu buat cerita semuanya. Apa yang mau kamu ceritakan, Mama akan mendengarkan dengan baik. Setelah kamu cerita nanti, kamu akan merasa sedikit lega," lanjut Mama.
"Ma, aku sama Mas Rendra sama-sama dijebak orang. Saat itu kami sama-sama tidak sadar dan kami melakukan hubungan "itu" karena pengaruh dari minuman yang diberikan si brengsek itu. Setelahnya aku dan Mas Rendra buat perjanjian," ujarku sambil menunjukkan dua surat perjanjian itu.
Mama dan Alma sama-sama membaca dan ekspresi mereka tak jauh berbeda, yaitu terlihat sangat syok.
"Astagfirullah Mbak, kenapa Mas Rendra tega buat surat kayak gini?" ujar Alma.
"Semua itu kami lakukan agar rencana pernikahan tidak hancur meski aku tahu kalaupun kami menikah, suatu saat akan terjadi badai yang sangat besar. Terbukti satu bulan kami menikah, aku dinyatakan hamil dengan perhitungan yang sama persis dengan kejadian itu. Mas Rendra marah dan memutuskan untuk pergi dari rumah sampai kemarin kalau nggak ditelepon Mama Rani, aku yakin dia nggak akan mau pulang," jelasku.
Mama Rani hanya bisa geleng-geleng. Aku tahu Mama sangat kecewa dengan aku dan Mas Rendra yang berusaha menutupi masalah sebesar ini.
"Tapi saat kalian menikah, kalian terlihat baik-baik saja. Apa semua itu hanya akting demi menyenangkan kami semua?" tanya Mama Rani.
Aku menggeleng, "Sebelum kami menikah, aku sempat kabur untuk menenangkan diri di Trenggalek dan saat itu pula entah disengaja atau tidak, Mas Rendra menemukanku dan ngobrol dari hati ke hati. Saat itu kami udah sepakat buat melupakan masa lalu dan mencoba membuka lembaran baru meski aku tahu Mas Rendra masih ragu akan diriku Ma," jawabku.
"Mas Rendra ragu kalau anak ini darah dagingnya?" tanya Alma to the point.
Aku mengangguk, "Karena Mas Rendra taunya aku melakukan "itu" dengan orang lain. Aku nggak bisa membuktikan kalau aku nggak salah,"
"Astagfirullah, kenapa kalian berusaha baik-baik saja meski pernikahan kalian sedang dirundung badai sebesar ini?" tanya Mama Rani.
Aku menangis lagi dan memeluk Mama Rani, "Kami cuma nggak mau kalian kecewa sama keputusan yang kami ambil. Ma, maafin Reyna yang belum bisa jadi istri yang baik untuk Mas Rendra," ujarku.
"Enggak sayang. Kamu udah melakukan yang terbaik. Mama tahu kamu nggak akan menceritakan aib rumah tanggamu sendiri. Maaf Mama sedikit memaksa kamu cerita. Mama tahu kamu pasti trauma hebat karena hal itu. Kamu harus kuat ya sayang, bukan buat Rendra atau kami, tapi untuk calon anakmu ini," balas Mama Rani. Aku mengangguk.
"Ma, dek, kalian janji ya nggak ceritakan semua ini ke keluarga yang lain. Biar aku dan Mas Rendra sendiri yang menyelesaikan semua ini," ujarku. Mama Rani mengangguk.
"Tapi aku nggak akan biarin Mbak Reyn dan Mas Rendra pisah. Aku sayang sama kalian berdua. Aku nggak mau pisah sama kalian. Apalagi sebentar lagi keponakanku akan lahir," rengek Alma sambil memelukku.
Ku balas pelukannya, "Doakan saja yang terbaik ya dek,"
Sungguh aku beruntung memiliki keluarga ini. Perhatian dan kasih sayang yang diberikan sama dengan kasih sayang dari Ayah, Mama Fifi, dan Mas Bayu. Tapi apa aku bisa mempertahankan ikatan ini? Bagaimana kalau setelah melahirkan nanti, aku dan Mas Rendra beneran berpisah? Aku hanya berdoa yang terbaik untuk kami semua.
***
Benang-benang kusut memang perlahan terurai. Mama dan Alma benar-benar menepati janjinya untuk tidak membagikan cerita itu kepada siapapun. Dan selama itu pula Mas Rendra tak pernah menghubungiku atau Mama Rani. Aku mencoba bangkit karena sekarang penyemangatku bukan hanya calon anakku, tetapi juga Mama mertua dan adik iparku. Mereka terus menerus memberikan support system untukku.
"Sayang, nanti jadi beli perlengkapan bayinya? Mumpung Alma free, biar dia bantu-bantu bawa," ujar Mama Rani.
"Jadi aja Ma. Aku juga belum beli apapun kok," jawabku.
"Reyn, kamu jangan terlalu memikirkan Rendra ya. Biarkan dia disana juga introspeksi diri. Kamu cuma perlu fokus sama anak ini," ujar Mama Rani sambil mengelus perutku yang semakin membuncit.
Aku tersenyum, "Makasih ya Ma. Mama baik banget sama aku. Kalau anak ini lahir, pasti bangga punya nenek dan tante yang luar biasa," balasku.
Alma mendekati kami, "Aku maunya dipanggil aunty aja ya Mbak," ujarnya sambil menggelendoti lenganku.
"Padahal aku mau panggil bulik aja. Orang Jawa kan panggilnya bulik. Mau kan?" godaku.
"Ihhh Mbak Reynnn jangan bulik lahhh," balas Alma.
Kami bertiga tertawa dengan tingkah konyolku dan Alma. Terlihat Mama Rani seperti tengah merenungi sesuatu.
"Ma, Mama kenapa?" tanyaku pelan.
Mama menggeleng, "Mama bahagia melihat kalian juga bahagia meski keinginan Mama itu belum sepenuhnya terpenuhi," ujar Mama.
Alma memeluk Mamanya, "Udah Ma, tanpa Mas Rendra, kita juga bisa bahagia. Kalau nanti Mas Rendra menyesal dan sampai nangis-nangis minta maaf sama Mbak Reyn, aku orang pertama yang tertawa bahagia," ujarnya penuh semangat. Aku tertawa dengan kelakuan Alma.
"Yaudah yuk kita berangkat. Kasihan Mbak bumil nanti kecapekan kalau udah siang," lanjut Alma.
Kami bergegaa pergi. Mungkin ini saatnya aku benar-benar bangkit. Meski ucapan Alma tidak sepenuhnya benar, aku nggak akan bisa bahagia sepenuhnya tanpa Mas Rendra, tapi untuk saat ini lebih baik aku tidak memikirkan hal itu dulu. Aku harus fokus sama kesehatan calon anakku.
Ternyata mengurai benang yang terlanjur kusut itu tidak selamanya sulit. Hatiku sedikit lega setelah menceritakan sebagian dari masalahku kepada Mama Rani dan juga Alma.
Untuk kedepannya, aku benar-benar pasrah. Pasrah dan mengikuti takdir membawaku kemana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reyren (Completed)
ChickLitCinta, Kepercayaan, dan Pengorbanan Orang kalau sudah cinta dan percaya kepada pasangannya, akan melakukan pengorbanan apapun itu tanpa peduli kalau hal itu bisa saja menyakiti dirinya sendiri. Cinta, kepercayaan, dan pengorbanan adalah suatu hal...