34. Usahanya Merobohkan Pertahananku

343 17 0
                                    

Aku nggak perlu pengakuan atau penghargaan, tapi aku cuma mau keluargaku utuh kembali meski tembok yang harus aku hancurkan sangat besar dan kuat

~ Papanya Ajeng ~



Happy Reading

Mendung tak berarti hujan.

Kalimat itu sering aku dengar dan sekarang aku mengalaminya sendiri. Bukan mendung dalam arti sebenarnya, tapi perasaanku. Perasaan yang semakin hari semakin tak menentu.

Kala mendung tak jadi hujan.

Kala diriku yang enggan mengambil keputusan.

Kalau saja aku bisa dengan tegas dengan perasaanku antara bertahan atau melepaskan ikatan ini, mungkin rasanya akan sedikit lega. Seperti hujan yang membuat suasana hati tenang. Tapi hujan juga bisa membawa bahaya seperti banjir, juga jika keputusanku nanti tidak tepat, dampaknya sangat besar untuk hidupku kelak.

"Gimana Reyn?" tanya Ayah.

Kini aku tengah ditemani Ayah di samping rumah. Mas Rendra, Mama Rani, Mama Fifi, dan Papa Alfian tengah sibuk dengan penataan barang di RADCA. Sudah satu minggu ini urusan launching RADCA cabang Surabaya selesai dan sekarang suamiku tengah disibukkan dengan kegiatan operasional harian disana.

"Reyna masih bingung Yah," jawabku.

"Waktunya tinggal dua minggu lho. Kalau kamu memang kurang yakin, coba sholat istiqarah. Minta petunjuk sama Allah," ujar Ayah menasihatiku.

"Udah Yah, tapi masih belum jelas keputusan apa yang harus aku ambil," balasku.

"Tentang tes DNA itu gimana?" tanya Ayah.

"Mas Rendra udah ke rumah sakit tapi hasilnya belum keluar," jawabku.

Aku mengernyit, "Kok lama banget? Udah seminggu lebih lho,".

Aku menggeleng, "Aku nggak tahu Yah. Ya kalau dia nggak bisa menunjukkan hasil tes DNA, aku sendiri yang akan mengurus di pengadilan," ujarku mantap tapi di dalam hatiku, apakah aku bisa melakukan apa yang aku ucapkan tadi?

"Kamu pikirin dulu matang-matang. Jangan sampai keputusan yang kamu ambil itu malah membuatmu menyesal. Ambil keputusan dengan kepala dingin," nasihat Ayah.

Betul kata Ayah, aku harus bisa mengambil keputusan dengan pikiran yang jernih. Tak boleh ada amarah sedikitpun. Karena bagaimanapun aku sudah berjanji di depan orangtua dan Allah kalau aku akan mempertahankan pernikahan ini semaksimal mungkin.

***

Oeeekkk oeekkkk oeeekkkk

Itu suara Ajeng. Kenapa ya?

"Reyn, kamu ke kamar dulu sana. Mungkin Ajeng pup atau ngompol," suruh Mama Rani.

Aku langsung bergegas ke kamar. Dan aku melihat pemandangan yang sangat aku inginkan dari lama. Rasanya sungguh luar biasa melihat dua generasi itu sedang bersama.

Aku masuk kamar bertepatan dengan Mas Rendra yang menoleh.

"Kamu kemana aja sih? Ajeng habis pup ini. Udah aku ganti popoknya. Tinggal bedongnya aja, aku agak kesulitan," ujarnya tanpa aku tanya.

Aku mendekati dan terlihat anakku itu tersenyum. Masyaa Allah senang banget rasanya melihat tawa anak sendiri.

"Ajarin bedong dong Reyn," pinta Mas Rendra.

Tanpa bersuara aku membedong Ajeng dengan perlahan. Mas Rendra pun ikut memperhatikan.

Tiba-tiba handphone Mas Rendra bunyi tapi malah dicueki. Dari siapa ya? Kepo dehh wkwkwkwk.

Reyren (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang