"A-aku."
"Ayo ucapkan, Alan."
"Maafin aku, Qilla. Mungkin bagi kamu selama ini aku menghilang, maafin aku," kata Harlan sembari menggenggam tangan Nisa.
"Tidak apa-apa, Alan. Aku mengerti," ucap Nisa tersenyum.
"Nisa, asal kamu tahu, selama ini aku selalu memerhatikanmu. Aku juga yang yang selalu memberi kamu surat peringatan itu."
"Peringatan?" tanya Nisa tak paham.
"Aku memantau kamu dari jauh, Qilla. Aku selalu mengawasi gerak-gerik kamu dan Nathan."
Mendengar nama Nathan, hati Nisa seketika mencelos. Dia teringat akan perlakuan ibu mertua kepada dirinya. Kejam, kata yang dapat menggambarkan keadaan Helena dan juga Hilda. Padahal dia baru saja ingin memulai hidup baru dengan Nathan, tetapi karena Hilda, semuanya hancur berantakan. Nisa juga sadar, bahwa sekarang, seluruh hatinya hanyalah milik Nathan.
"T-tapi kenapa?"
Harlan tersenyum lembut. "Sudah jangan terlalu dipikirkan. Sembuh saja dulu," ucap Alan, sembari mengacak-acak rambut Nisa dengan gemas.
"Alan! Tuh kan jadi berantakan."
"Jangan terlalu percaya dengan ucapan, Nathan."
"K-kenapa?" tanya Nisa.
"Mulutnya terlalu brengsek untuk kamu percaya, Qilla!"
"Lalu bagaimana, Alan?"
"Kamu tidak usah pulang ke rumah," jawab Alan, "jauhi ibu mertuamu itu."
Nisa menggeleng pelan. "Aku akan tinggal dimana nantinya? Jika aku pergi dari rumah, bagaimana tanggapan mereka. Bagaimanapun aku juga masih istri Nathan."
"Dua bulan ke depan, kamu tinggal di kontrakan dekat tempat kerjaku, ya," pinta Harlan dengan pupy eyesnya itu.
Nisa mempertimbangkan hal itu. "Tapi, Alan, bagaimana jika Nathan mencariku?"
"Demi Tuhan, bisakah sekali ini saja kamu mendengarkanku?" tanya Harlan, lelah. "Qilla, demi janin yang ada dalam kandunganmu. Daripada kamu terus menerus di sakiti, hal itu hanya akan menyengsarakan kamu," ucapnya lagi.
Setelah mempertimbangkan hal-hal yang dia alami kemarin, ucapan Harlan memang benar. Untuk saat ini biarlah Nisa istirahat terlebih dahulu, dia hanya ingin melihat reaksi Nathan. Bagaimana cara pria itu memperjuangkannya.
"Baiklah," ucap Nisa menyetujuinya. "Terimakasih banyak, Alan."
***
Dua bulan berlalu, setelah bulan-bulan pahit kemarin datang menghampiri wanita yang tengah berbadan dua itu. Hidupnya sekarang memang sederhana tetapi dia bahagia, rumah kontrakan yang hanya cukup dia huni sendiri mampu menciptakan kebahagiaan yang menyenangkan hati.
Lain hal dengan pria yang tengah stres di seberang sana. Pria itu tengah uring-uringan, pasalnya sudah dua bulan istrinya menghilang entah kemana.
Dia lelah mencari, sudah puluhan orang yang dia percaya di kerahkan. Beberapa detektif sudah dia bayar untuk mencari keberadaan istrinya, tetapi tidak di temukan juga.
Dengan aura dinginnya, Nathan berjalan menuju ruangan di kantornya. Setelah tiba di dalam ruangan, Nathan segera duduk di kursi kebesarannya. Tangan besarnya meraih foto yang ada di dalam laci itu, dia tersenyum kemudian tanpa dia sadari air matanya jatuh.
Nathan menyesal sejadi-jadinya. Dia terlalu bodoh, gampang dibutakan oleh satu kesalahan saja. Sekarang, hidupnya hampa, penuh dengan sepi dan sesak yang kadang menghampiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Way to Forget You (Completed)
RomanceNathan & Nisa Story _________ Awalnya, pernikahan kami berjalan sebagaimana pasangan lainnya. Nathan-suamiku memperlakukan diriku layaknya seorang ratu. Aku dapat merasakan bahagia yang seutuhnya. Namun, semuanya berubah ketika aku di diagnosa tidak...