"Love is painfull."
___
"M-mas, kita akan pergi kemana? Ini bukan jalan pulang."
Nathan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, Nisa sampai harus menutup matanya agar tidak ketakutan. Aura yang dipancarkan Nathan sangat jauh berbeda daripada sebelumnya. Aura ini membuatnya bergidik. Bulu kuduknya meremang kala Nathan menatapnya dengan marah.
"Jangan banyak omong kamu!" bentak Nathan.
Mobil yang dia kendarai tepat berhenti di seberang rumah tua yang tampak tak terawat lama. Seram, menakutkan, dan mencekam. Itu adalah beberapa kata yang dapat menggambarkan kondisinya.
Nathan turun dari mobil tersebut, Nisa pikir ban mobilnya bocor. Akan tetapi Nisa salah, justru Nathan mengambil sebuah pisau yang siap-siap akan menusuknya. Pisau itu terlihat masih baru dan amat tajam.
"M-mas! Jangan gila kamu!" teriak Nisa.
Karena keadaan pintu mobil yang di kunci, Nisa memencet asal tombol buka kunci beberapa kali di pintu itu.
"Istighfar, Mas! Aku ini telah mengandung anak kamu! Darah daging kamu."
"Ya Allah aku tidak mau mati dalam keadaan mengandung, selamatkan aku," pinta Nisa dalam hati.
Nisa terus menekan asal tombol itu, dan tiba-tiba pintu terbuka meski Nisa harus berjalan sambil tersungkur. Tanpa berpikir panjang Nisa segera berlari dengan tertatih untuk menyelamatkan diri.
Nisa berjalan sendirian di kegelapan malam. Jalannya patah-patah, napasnya terengah-engah. Nathan yang berada tepat di belakang terus mengikuti dirinya dengan mengacungkan sebuah pisau.
Nisa sudah akan menyerah, demi apa pun dia sudah tak tahan lagi. Namun, jika dia menyerah ... maka ia akan mati saat ini juga. Tidak, dia tak boleh mati. Masih ada sesosok malaikat kecil yang dikandungnya. Nisa menyeret lagi kaki yang sudah hampir mati rasa itu.
Sret!
"Argghhh!"
Nathan berhasil menangkap Nisa, perempuan yang malang itu. Sebuah pisau yang dibawanya berhasil merobek tangan mulus milik Nisa, darah kental kemerahan mulai mengucur membasahi kemeja yang sedang dipakainya. Nathan menyunggingkan senyum miring, pertanda puas dengan apa yang telah dibuatnya.
Diambilnya sebilah silet dari kantong bajunya, matanya menajam saat mendapat penolakan dari Nisa. Apa daya, tenaganya lebih kuat, gadis itu kalah olehnya.
Perlahan, dia mulai memainkan silet itu, menggoreskan sebuah goresan yang indah. Sebuah nama yang sangat disayangi olehnya. Nisa berteriak kesakitan, suaranya menggelegar hingga ke penjuru hutan. Teriakan itu malah menjadi kesenangan dan penyemangatnya untuk melalukan hal yang lebih lagi.
Hasrat membunuhnya kembali muncul karena Nisa. Di hutan gelap ini tak akan ada siapa pun yang bisa mengganggunya.
"Ke-kenapa ... kenapa kamu lakuin ini sama aku?" Nathan tak menjawab, dadanya dipenuhi sesak yang amat sangat, sehingga dia malah menggoreskan silet itu lebih dalam agar Nisa berhenti bertanya dan berteriak kesakitan.
Dia membenci Nisa, gadis yang telah berpeluang besar menghancurkan hidupnya. Andai saja, andai saja kala itu gadis ini tidak berhasil menerobos dinding pertahannya, dia pasti sudah membunuh wanita ini sedari dulu.
"T-tolong, ja-jangan begini ... argghhh!" Semakin dia ingin menjelaskan, semakin kuat orang itu untuk menghancurkan. "Kita bisa bicarakan ini baik-baik."
Baik-baik katanya, huh! Andai saja dia bisa mengembalikan nyawa yang telah hilang, Nathan tidak akan membawanya sampai kesini. Nyawa harus dibayar dengan nyawa, itulah hukum alam yang setimpal untuknya.
Napas Nisa memburu saat melihat orang itu mulai mengambil lagi pisau yang sempat ditaruhnya. Diacungkannya pisau itu ke atas. Jika dihunuskan, benda itu akan menembus ke arah jantungnya. Sedetik lagi nyawanya akan melayang dan tiba-tiba saja sebuah tangan besar menariknya dan membawanya kabur dari hunuskan pisau Nathan.
Perut dari penolong itu terkena sabetan pisau Nathan. Untuk membalas semua itu, dia memukul leher Nathan menggunakan balok kayu hingga pria itu merintih kesaktian.
Harlan. Laki-laki itu menarik paksa tangan Nisa yang tengah ketakutan. Dia telah berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan selalu melindungi Nisa bagaimanapun keadaannya.
"Sial dia lari lagi!" ucap Nathan seraya memegang tengkuknya yang terasa amat nyeri.
Harlan membawa Nisa berlari sejauh mungkin dari lokasi itu. Dengan kondisi Nisa yang berbadan dua, Harlan tidak mempedulikan kondisi Nisa. Yang terpenting Nisa selamat.
"Ayo masuk!" perintah Harlan.
"K-kamu siapa?"
"Aku Alan, Qilla. Sudah masuk! Amankan diri kamu."
Dengan kondisi tangan dan kaki yang berlumuran darah, Nisa memasuki mobil Harlan. Dia terus meraung kesakitan, karena kandungannya terasa begitu sakit. Sudah dua kali Harlan melihat kondisi Nisa dengan keadaan berdarah seperti ini.
"Alan sakit!" katanya yang di bekap oleh Harlan.
"Kamu jangan berteriak! Suamimu masih ada di sekitar sini!" ucap Harlan tegas.
Nisa hanya bisa merintih dan menangis, sedangkan Harlan terus membekap mulut Nisa agar tak terdengar. Sosok Nathan berdiri tanpa menoleh ke arah mobil Harlan, Nathan berbelok ke arah hutan yang lebat. Sedangkan Nisa, di amankan oleh Harlan.
Merasa sosok Nathan telah pergi, Harlan segera melajukan kendaraannya menuju rumah sakit.
"K-kamu juga berdarah, Alan," lirih Nisa.
Seketika Harlan melihat ke arah perutnya. Tak apa asalkan Nisa selamat saja, dia sudah bersyukur sebanyak-banyaknya. Harlan menggeleng pertanda tidak apa-apa. Sakit ini tidak seberapa saat melihat Nathan memperlakukan Nisa sedemikian rupa. Cinta katanya? Huh, apakah cinta memang saling menyakiti?
"Dasar lelaki bodoh! Andai saja aku bukan karena Nisa, aku pasti sudah membunuhmu sekarang juga!"
***
Tbc!Kamis, 24 Juni 2021
Revisi
Sabtu, 11 Desember 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
A Way to Forget You (Completed)
RomansaNathan & Nisa Story _________ Awalnya, pernikahan kami berjalan sebagaimana pasangan lainnya. Nathan-suamiku memperlakukan diriku layaknya seorang ratu. Aku dapat merasakan bahagia yang seutuhnya. Namun, semuanya berubah ketika aku di diagnosa tidak...