Part 20: Seseorang dari Masa Lalu (✓)

6.3K 239 2
                                    

"Mereka tak lebih dari sekedar sampah. Sama-sama menjijikkan."

Putri Raqilla An-Nisa

***
P

agi pun datang. Sinar matahari mulai beranjak naik dan menerobos masuk melalui lubang-lubang kecil di atas genteng. Terhitung sudah seharian wanita yang kini telah berbadan dua itu terkurung di sini. Rona wajahnya terlihat lebih pucat. Dia tetap berusaha untuk melepaskan ikatan tali di belakangnya, tapi sampai kapan pun tak akan bisa.


Satu persatu air matanya menetes kala merasakan seluruh tubuhnya nyeri. Rambut panjangnya sekarang hanya tinggal kenangan. Dalam hati kecil wanita itu memohon, tolong selamatkan dia. Masih ada satu nyawa lagi yang harus dia jaga.

Doa-doa itu ternyata membuahkan hasil. Seseorang tiba-tiba saja mendobrak pintu gudang dengan kerasnya. Nisa berharap semoga saja itu bukan ibu mertuanya ataupun Hilda. Dia tak sanggup jika mereka kembali menyiksanya lagi. 

Waktu berjalan lebih lama ketika terdengar suara langkah kaki menghampirinya. Nisa sudah memejamkan matanya bersiap menghadapi perlakuan kasar yang akan dia dapatkan. Namun, dia malah merasakan tali tangan dan kakinya dibuka oleh seseorang.

Betapa terkejutnya Nisa ketika orang yang semalam dia mimpikan, kembali hadir di sini. "A-alan," panggilnya seraya menahan air mata agar tak turun lebih deras.

Orang yang dipanggil Alan itu langsung memeluk bahu Nisa. Sesak rasanya ketika melihat kondisi wanita yang sempat menjadi kekasih hatinya ini. Alan mengelus bahunya seraya mengatakan untuk berhenti menangis.

Nisa menghapus air matanya lalu menghadap dengan sendu orang di depannya ini. "Sudah hampir 10 tahun kamu menghilang, Alan. Kamu kemana aja?" tanyanya dengan cemas.

Alan menggendong tubuh Nisa, membawanya keluar dari gudang kotor ini.

"Aku gak kemana-mana, Qilla."

Nisa kembali merasakan pusing di kepalanya, dia menahan itu untuk tetap bertanya. "Terus kenapa menghilang?"

"Aku gak hilang. Aku tetap ada di sini. Kamu yang pergi ninggalin aku Raqilla, bukan aku."

"Maksudnya?" tanyanya dengan lirih. Bersamaan dengan itu, kesadarannya hilang. Darah mengucur di sekitaran kakinya membuat Alan bergegas membawanya ke rumah sakit.

***

Secara kebetulan, Alan membawa Nisa ke rumah sakit yang dulu sempat didatanginya. Dokter yang memeriksanya juga sama, yaitu Rizal. Dokter itu sempat tertegun ketika melihat kondisi Nisa yang sudah kritis.

Kesabarannya kembali di uji ketika bukan Nathan yang membawa Nisa kemari, melainkan saingannya yaitu Harlan. Dia meminta Alan untuk ke ruangannya membicarakan kondisi Nisa.

"Kenapa dia bisa celaka?!" Rizal menekankan setiap kata yang dia sebut.

"Dua orang wanita licik itu kembali beraksi lagi," ujar Harlan dengan santai.

"Lo tau, kondisi dia sekarang kritis! Bayinya hampir gak bisa diselamatkan, dan lo masih tenangnya bilang begitu?" protes Rizal seraya menunjuk-nunjuk Alan.

"Gue udah berusaha untuk nyelamatin dia. Udah, gak usah debat lagi. Sekarang kita harus fokus buat menjaga keselamatan dia, setelah itu baru main-main sama tuh dua ular," saran Alan dengan kepala dingin.

"Lo udah dapat semua buktinya?"

"Ya, bahkan gue udah berusaha peringatan Nisa biar menjauh dari Nathan. Lagi-lagi rencana gue gagal," terangnya seraya mengusap wajah.

"Jangan bertingkah bodoh!" tukas Rizal. "Jangan lupain juga, kalau semua ini berawal dari kebodohan lo sendiri."

"Tapi Nisa gak seharusnya jadi korban," kilah lelaki itu.

"Gue percaya kalau Nathan bisa jaga Nisa. Apalagi perempuan itu sekarang lagi hamil."

Alan mendecih. "Lo lupa kalau itu si emaknya Nathan masih tinggal di rumah mereka?" tanyanya seraya tersenyum miring. "Jangan lupain semua bukti-bukti kalau yang malsuin test mereka itu si Helena."

Hampir saja Rizal melupakan satu fakta ini. Padahal dia sendiri yang menyuruh Alan untuk mencari semua buktinya. Dari mulai pergi ke rumah sakit yang sempat di datangi Nisa dan Nathan sampai memaksa dokter yang memeriksa mereka untuk memberi tahu kebenarannya.

"Semuanya serba rumit."

"Gak bakalan rumit kalau Nathan sama Nisa bisa pisah. Gue bakal bersyukur banget kalau Nisa bakal balik ke sisi gue dengan sendirinya," ujarnya tanpa dosa yang mendapat pelototan dari Rizal.

"Memang dasar nama lo Alan. Sifat lo juga sialan," ejek Rizal dengan semena-mena.

"Cuman Nisa yang boleh manggil gue dengan nama Alan! Inget itu baik-baik. Nama gue Harlan."

"Cih! Najis!"

***

Dari luar ruangan, seorang lelaki dan seorang dokter tengah menatap pasien di dalam sana. Wanita itu sudah sadar, tetapi sedikit heran karena keberadaannya lagi-lagi berada di dalam ruangan rumah sakit. Kepalanya menoleh ke sana ke sini untuk mencari keberadaan seseorang yang tadi sempat ditemuinya.

"Alan," panggilnya dengan nada rendah. Perawat yang kebetulan berada di dekatnya dengan segera menghubungi dokter untuk memastikan kondisi Nisa.

Rizal masuk ke dalam ruangan bersama dengan Harlan. Sejak tadi mereka berdua mengumpulkan niat untuk bertemu dengan Nisa. Dengan segera Rizal menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter. Dia melihat perkembangan yang lumayan pesat dari Nisa. Sepertinya kedatangan Harlan membawa pengaruh baik untuknya.

"Gimana? Udah baikan?" tanya Harlan seraya mengesampingkan helai rambut yang menutupi wajah Nisa.

"A-aku k-kangen k-kamu." Nisa berkata dengan terbata.

"Iya, sama. Sekarang istirahat, ya, biar cepat sembuh. Qilla gak boleh sakit lagi."

Rizal berdecih melihat pemandangan di depannya ini. Sangat memuakkan, panggilan khusus itu masih ada hingga sekarang. Padahal Nisa sudah memiliki suami, dan sepertinya dia sangat mencintai Nathan. Namun, kenapa masih mau saja diperlakukan seperti itu oleh Harlan?

Andai saja sekarang semuanya baik-baik saja, Rizal pasti akan segera membawa Nisa pergi menjauh dan kembali ke sisi Nathan. Dia juga sadar diri, bahwa kali ini hanya Harlan yang bisa melindungi Nisa.

Rizal menarik kemeja Harlan untuk membawanya ke luar ruangan. Sebelum Harlan mengatakan yang tidak-tidak, dia harus mencegah itu. Mendapat penolakan, Rizal memberikan kalimat ultimatum untuknya.

"Nisa gak bakalan bisa istirahat dengan tenang kalau seseorang dari masa lalunya masih ada di sini. Keluar!" usir Rizal secara halus. "Saya tak mau membiarkan pasien saya lama untuk sembuh."

Dengan kesal, Harlan beranjak keluar dengan wajah cemberut. Dia menoleh kembali sebentar untuk membisikan sebuah kalimat untuk Nisa.

"Selamat tidur, Gadis Cantik."

Barulah dia pergi sebelum nanti akan disemprot lagi oleh Rizal.

***

TBC!

Senin, 21 Juni 2021

Revisi
Jum'at, 3 November 2021

A Way to Forget You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang