"Pasrah bukan berarti menyerah."
***
Di dalam ruangan yang tak diketahuinya ini, Nisa bangun dan merasakan sakit di seluruh permukaan tubuhnya. Hawa dingin berhembus melewati kulitnya, dia menebak bahwa sekarang tengah disekap.
Banyangkan saja, tangannya diikat di belakang kursi serta kaki yang juga diikat. Nisa tak bisa berteriak. Mulutnya disumpal dengan kain yang terasa menusuk tenggorokannya. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Mengapa dia bisa berada di tempat ini.
Tap!
Nisa mempertajam pendengarannya kala mendengar suara langkah kaki yang menerobos masuk. Bulu kuduknya meremang. Seseorang itu mencengkram pipi Nisa dengan jari lentiknya.
Teriakan Nisa tentu saja tak akan terdengar, tetapi dia dengan bodohnya malah memberontak dan melakukan hal yang sia-sia.
"Tenang, hei, gue cuman pengen main dikit sama elo. Kebetulan kita udah lama gak ketemu dan main bareng, 'kan?"
Suara itu, suara tak asing yang dahulu sering di dengarnya. Nisa dapat menebak dengan pasti siapa orang di depannya ini. Wanita itu memainkan rambut Nisa dengan tampang tak berdosa.
"Ibu mertua! Ayo kesini! Katanya kau ingin melihat wanita ini tersiksa."
Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ada apa lagi ini? Dengan kondisi gelap, tak memungkinkan Nisa untuk melihat. Nisa menggerakkan lagi tubuhnya dari kursi untuk lepas dari semua penyiksaan ini.
Namun, tanpa aba-aba, Nisa malah mendapatkan sebuah tamparan. Mungkin jika sekarang terang, Nisa bisa melihat jejak kemerahan di pipinya.
"Saya tak suka jika kamu melawan seperti ini!"
Mama? batinnya. Kenapa Mama tega lakuin ini sama aku?
Plak!
Rasa panas kembali menjalari pipi sebelah kirinya. Kali ini lebih sakit dari hantaman sebelumnya. Nisa hanya bisa meringis dalam diam.
"Ini untuk kamu yang selalu saja menggagalkan rencana saya untuk menjodohkan Hilda dan Nathan," ujarnya seraya menjambak rambut Nisa.
Hilda berinisiatif untuk membuka penutup wajah Nisa. Mereka berdua menyeringai kala Nisa menatapnya dengan pandangan ketakutan.
"Mmm ... Mmmmm." Seberapa kuat usaha Nisa, percuma saja karena tak akan terdengar.
"Sakit?" Hilda menggantikan peran Helena untuk menarik rambut Nisa. Smirk itu terus terpatri di bibir manisnya.
"Gue suka kalau lo kesakitan!" Hilda menghempaskan tangan yang sedang memegang rambut Nisa sehingga sang empu jatuh tersungkur. Tawa mereka menggema seakan merasa amat bahagia. Hilda mengambil gunting di dalam tasnya. Dia menatap Nisa seraya melangkah dengan pelan.
Dengan tertatih, Nisa memundurkan tubuhnya, dia sangat ketakutan. Belum lagi bayi di dalam kandungannya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Besar harapan Nisa bahwa mereka berdua belum mengetahui kehamilannya. Jika sudah, maka tamatlah riwayatnya.
"Lo gak bisa lari dari gue, Nisa!" Dia menarik rambut Nisa hingga kursi yang didudukinya kembali berdiri.
Nisa mengerang, memohon ampun, tetapi sama sekali tak dipedulikan. Hilda menggunting rambut Nisa dengan kasar. Bahkan potongannya terasa hingga ke kulit kepala. Dia melakukan itu bergantian dengan Helena. Memangkas habis seluruh rambut Nisa.
Setelah puas, barulah Helena membuka penutup mulut Nisa.
"Ini yang akan kamu dapatkan ketika melanggar perintah saya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Way to Forget You (Completed)
RomanceNathan & Nisa Story _________ Awalnya, pernikahan kami berjalan sebagaimana pasangan lainnya. Nathan-suamiku memperlakukan diriku layaknya seorang ratu. Aku dapat merasakan bahagia yang seutuhnya. Namun, semuanya berubah ketika aku di diagnosa tidak...