🌲 Tiga Puluh 🌲

332 27 3
                                    

"Gue kehilangan Papa, Sha."

Aldi masih menangis sesengukan di pundak Salsha. Mencurahkan semua kesakitan yang ia rasakan. Meskipun Aldi membenci Papanya, tetapi mendengar kematian sang Papa tentu saja menyakiti hatinya.

"Gue udah nggak punya papa lagi." Aldi menangis sesegukan.

Salsha mengusap punggung Aldi naik turun. Meskipun belum pernah merasakan di tinggal selamanya oleh orang terkasih, ia bisa merasakan sakit yang di rasakan oleh Aldi. Salsha juga ikut mengeluarkan airmatanya.

"Gue bahkan belum sempat minta maaf sama Papa. Gue belum sempat ketemu untuk terakhir kalinya sama Papa."

Salsha menegakkan badan Aldi yang terasa lemah. Ia menangkup pipi Aldi dengan kedua tangannya sembari tersenyum tulus, berusaha menguatkan lelaki itu.

"Lo yang sabar, ya. Gue tahu ini nggak mudah buat lo, tapi lo harus kuat."

"Gue kehilangan Papa, Sha." tubuh Aldi bergoyang, tangisnya semakin pecah.

"Lo nggak boleh kayak gini dong, Ald. Lo harus kuat." Salsha berusaha menguatkan lelaki itu, meskipun Salsha tahu hal itu sangat berat.

"Gue nyesal waktu itu nggak mau ketemu sama Papa. Gue bahkan nggak ada disaat detik terakhirnya menghembuskan nafas. Gue anak durhaka. Padahal waktu itu Karel udah ngomong sama gue buat temuin Papa. harusnya gue mau. Kalo gue mau, pasti saat ini Papa masih ada. Pasti gue udah bareng-bareng sama Papa." Aldi meracau sendiri. Ia menampar-nampar pipinya. "Gue bodoh, gue anak durhakaa."

Salsha semakin tak tega melihat kondisi Aldi yang seperti ini. Ia menahan tangan lelaki itu untuk tidak menampar pipinya Aldi. Airmata Salsha semakin menetes.

"Ald ini semua bukan salah lo," kata Salsha. "Ini semua udah takdir. Kita nggak pernah bisa ngerubah takdir, yang kita bisa cuma nerima takdir itu, Ald."

"Lo itu cowok, lo harus kuat. Bukan cuma lo yang kehilangan Om, tapi mungkin Mama lo juga. Kalo lo kayak gini, siapa yang bisa tegarin Mama lo? Lo harus kuat."

Perlahan airmata Aldi berhenti. Ia ingat Mamanya, setelah mendengar kematian Papanya dan Katya, Aldi langsung mengurung diri di kamar dan tak memerdulikan siapapun. Ia bahkan tidak ingat Mamanya yang pasti juga ikut terluka mendengar kabar ini.

"Semua udah terjadi dan nggak bisa di ulangi lagi. Kalo lo sayang sama Papa lo, urus pemakaman beliau, doain beliau di setiap sholat lo."

Salsha mengusap airmata Aldi dengan lembut. Aldi kembali memeluk Salsha dengan erat. Kata-kata Salsha berhasil membuat tersadar, tidak ada gunanya menangis terlalu lama. Apa yang sudah terjadi tidak bisa di elakkan lagi. Tapi rasanya masih sangat sakit. Aldi kehilangan Papanya untuk selama-lamanya bahkan sebelum ia sempat bertemu dan meminta maag kepada Papanya itu.

Pintu kamar Aldi di ketuk, Katya datang dengan piring berisi nasi dan air putih di tangannya.

"Ald, lo makan dulu, ya. Dari tadi lo belum makan," kata Katya sembari mendekat ke arah Aldi.

Aldi melepas pelukannya dan beralih menatap Katya. "Gue nggak lapar, Kat."

"Tapi lo harus makan, Ald. Nanti lo sakit," kata Katya lagi.

"Biar gue aja yang bujuk Aldi biar makan." Salsha mengambil alih nasi dan air putih dari tangan Katya. "Aldi pasti mau makan, kok."

Katya mengangguk. "Yaudah, kalo gitu gue ke bawah lagi ya. Masih banyak yang perlu di urus di bawah."

Katya menoleh ke arah Kezia yang sedari tadi masih berdiri di pintu kamar Aldi seperti enggan beranjak dari tempatnya.

"Daripada lo berdiri bengong disitu, mending lo bantuin gue di bawah gelar tikar. Bentar lagi jenazah Om Liston bakal sampe."

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang