7. Malam Mingguan

248 36 0
                                    

HAPPY READING

•••••

“Ay, tau bedanya kamu sama matahari nggak?” tanya Matteo menatap Ayana sembari tersenyum lebar.

Ayana tersenyum miring, lalu mengangguk. “Tau,” jawabnya dengan singkat.

“Apa dong?” tanya Matteo penasaran dengan jawaban pacarnya itu.

“Mesti mau bilang gini, kan. Matahari itu menyinari dunia, kalo kamu menyinari hatiku.”

“Yahhh, kok tau, sih, Ay.” Matteo mendesah, pura-pura sedih karena gombalannya gagal.

“Ya abis mau ngegombal aja topiknya udah pasaran. Yang langka dong,” kata Ayana mengejek.

“Ooo berarti berharap mau digombalin ya,” ejek Matteo sembari menoel-noel hidung Ayana.

Ayana mendelik, menggeleng cepat. “Dih, ya nggak lah. Yang bener aja ya.”

“Eh Matt,” panggil Ayana.

“Iya?” Matteo menaikkan sebelah alisnya.

“Masa udah pacaran, kita manggilnya masih lo gue?” tanya Ayana yang penasaran karena sepertinya Matteo terlihat biasa dan santai tidak mempermasalahkan itu. Bahkan dengan Ayana yang selalu memanggil Matteo dengan namanya, tidak dengan sebutan sayang seperti kebanyakan pada orang pacaran.

“Terus juga gue manggil lo dengan nama, lo nggak marah?” lanjut Ayana bertanya lagi.

Matteo tersenyum, entah kenapa hatinya menghangat melihat Ayana yang memperhatikan hal sekecil itu. “Gue nggak merasa keberatan dan nggak marah sama sekali, Ay. Karena gue rasa, itu bukan suatu masalah. Asal pasangan lo nyaman dengan itu semua, dan gue sendiri juga nggak keberatan. Ya, it's oke.”

“Udah jangan dipikirin, lagian Jarang-jarang kan orang pacaran panggilannya masih lo gue, sama manggil nama,” kata Matteo menenangkan karena melihat Ayana yang diam.

Padahal Matteo sesekali memanggil Ayana dengan sebutan sayang. Bahkan panggilan yang diberikan Matteo pada Ayana adalah sebutan sayangnya juga, karena tidak ada yang memanggil Ayana dengan panggilan Ay selain Matteo. Karena Ayana merasa, semua harus ada timbal baliknya.

“Ay, nggak semua itu harus ada timbal baliknya, kok.” Matteo berkata seakan tau isi hati Ayana, membuat gadis itu mendongak. “Selagi sama-sama nyaman ngejalaninya. Satu sama lain nggak merasa keberatan, itu bukan masalah. Gue menghargai lo sebagai pacar, gue tau lo belom terbiasa. Maka dari itu, gue sebagai Matteo juga masih lo gue, karena menghargai lo, Ay.”

Karena Matteo tau, ini pertama kalinya untuk Ayana menjalin hubungan. Pacarnya itu sangat selektif dalam memilih. Matteo tau itu.

“Kalo lo mau aku kamu, ya nggak papa. Gue bakal nyesuain lo,” lanjut Matteo. “Gue bukan pacar yang nuntut dan mempermasalahkan hal kecil, Ay. Sampe sini paham?”

Ayana dibuat kagum dengan Matteo. Ia bahkan tidak menyangka, Matteo sedewasa ini pemikirannya. Ayana merasa beruntung dicintai laki-laki itu. “Matt boleh nggak kalo gue bilang, gue sayang banget sama lo.”

Matteo tersenyum, sedetik kemudian terkekeh geli. Tanpa banyak bicara, Matteo memeluk Ayana, mengusap punggung gadis itu. “Boleh lah, kan sayangnya sama pacar sendiri. Bukan pacar orang.”

Betapa beruntungnya Matteo berhasil mendapatkan dan memiliki Ayana.

Saat ini, Matteo sedang menunggu Ayana menyelesaikan piketnya. Pacarnya itu masih membersihkan kelas bersama Seruni. “Gue nggak nyangka. Ayana yang selalu nolak dan kabur, sedangkan Matteo yang selalu ngejar, eh sekarang bisa pacaran. Mana pada bisa bersikap manis dan sama-sama dewasa lagi,” kata Seruni yang memang mendengar percakapan mereka––membuat baik Ayana dan Matteo sontak menatap ke arah gadis itu.

MATTEO ✔ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang