20. Pelajaran Hidup

146 22 0
                                    

HAPPY READING

•••••

Ayana menatap Matteo, lalu menjulurkan jari kelingkingnya. “Janji, ini yang terakhir, ya?”

Matteo balas menatap Ayana dengan lama, menjulurkan kelingkingnya. “Gue nggak janji, tapi gue akan berusaha. Boleh, kan?”

Ayana mengangguk, tersenyum. “Yang penting jangan ngeremehin kesempatan yang gue kasih aja.”

“Pasti kok Ay, pasti.” Matteo tersenyum hangat, menatap Ayana penuh cinta.

“Udah makan?” tanya Ayana penuh perhatian.

Matteo menggeleng, memperlihatkan wajah tidak bersemangatnya. “Gue nggak level sama makanan rumah sakit, Ay,” katanya mengadu dengan manja.

“Ih, harus tetep dimakan, Matt. Nggak boleh gitu. Lo tau, kan, banyak orang di luar sana yang mau makan sekali aja susah.” Ayana mulai berceramah, mengeluarkan kalimat-kalimat mutiaranya. Matteo? Laki-laki itu diam, memperhatikan Ayana, memperhatikan pacarnya itu. Ayana membuka bungkusan makanan yang tadi ia beli sebelum kemari.

“Gue beliin nasi rames, dimakan.” Ayana meletakkan makanannya di piring, lalu memberikan pada Matteo.

“Suapin, Ay.”

“Manja banget sih,” gumamnya menggerutu. Meskipun begitu, dengan senang hati Ayana tetap menyuapi Matteo.

“Maaf ya, udah ngilang seminggu tanpa kabar.” Matteo membuka percakapan, di tengah-tengah mulutnya sibuk mengunyah makanan.

“Lo tuh definisi manusia yang jahat banget,” gumam Ayana masih tidak terima dengan kelakuan Matteo yang sangat menjengkelkan. “Selama seminggu, gue bener-bener kayak orang bodoh. Dateng ke kelas lo, cuma mau nanyain kabar lo. Ditambah temen-temen lo pada ngehindar lagi. Pasti lo, kan, yang nyuruh?”

Matteo menyengir, mengangguk pelan. “Gue cuma nggak mau lo tau. Karena takut lo kecewa, karena udah ngelanggar janji,” gumamnya.

“Tapi dengan nggak ngasih tau ke gue itu lebih mengecewakan lagi,” kata Ayana dengan datar. “Jangan diulangi lagi, pokoknya.”

“Gue janji, Ay.”

“Iya lo bisa janji, tapi gue juga butuh pembuktian dari lo.”

“Iya, Ay,” balas Matteo dengan patuh. “Jalan-jalan yuk, Ay,” lanjutnya mengajak.

Ayana menaikkan sebelah alisnya. “Mau jalan-jalan ke mana? Masih sakit juga,” katanya mengomel.

“Ke taman aja, nggak usah jauh-jauh,” balas Matteo menatap Ayana penuh harap.

“Mau pake kursi roda atau jalan bisa?” Ayana melirik ke arah kaki Matteo yang sepertinya terlihat tidak baik-baik saja. “Pake kursi roda aja,” lanjutnya memutuskan.

Matteo dengan cepat menggelengkan kepala, menolak. “Jalan aja, Ay. Gue masih bisa kok.”

“Nggak... nggak, naik kursi roda aja. Nanti kalo jalan, bukannya sembuh malah makin sakit.” Terdengar galak dan agak ketus di telinga Matteo, tapi itu mampu membuatnya tersenyum sekaligus hatinya menghangat karena mendengarnya.

“Kok senyum-senyum?” tanya Ayana heran.

“Abisnya gue suka sama sikap lo. Makin hari, rasa gue makin besar,” gumam Matteo menatap Ayana dalam. “Andai aja kalo kita sekeyakinan,” lanjutnya menunduk.

Ayana menarik dagu Matteo, agar menatapnya, lalu menghembuskan napasnya pelan. “Matt, jangan sekali-sekali lo nyalahin keyakinan yang berbeda. Salahin, kenapa kita saling jatuh cinta. Kalo tau itu bakalan sulit,” katanya pelan. “Jalani dulu, masalah ke depannya gimana, nggak perlu dipikirkan.”

MATTEO ✔ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang