HAPPY READING
•••••
"SAYA TETAP AKAN MENGAJUKAN SURAT CERAI."
PLAK.
Suara bising dari dalam rumah terdengar hingga luar. Samar-samar, Matteo mendengar Mamanya berteriak dan suara tamparan yang begitu keras. Dengan langkah lebar, tergesa-Matteo segera masuk ke dalam rumah, mendorong pintu dengan kasar.
Di ruang keluarga, Matteo dapat melihat Mamanya yang terduduk lemas di atas lantai dengan Papanya yang berdiri menatap sang Mama penuh kemarahan. "Mama ... Mama nggak papa?" Matteo membantu Mita berdiri, lalu melihat kemerahan di pipi Mamanya, seperti bekas tamparan.
Matteo lalu membawa Mita ke sofa, dan mendudukkannya. Lalu beralih menatap sang Papa dengan datar. "Mama akan bercerai dengan Anda."
"Saya sendiri yang akan mengajukan surat perceraiannya," lanjut Matteo dengan tegas. Ia merasa sangat sakit saat melihat wajah Mamanya.
"Kamu! Saya ini Papa kamu. Dasar anak kurang ajar!" tunjuk sang Papa dengan wajah marahnya dan bersiap akan memukul Matteo.
Matteo menantang, tanpa takut sedikitpun. "Apa? Saya bukan anak Anda lagi sejak Anda berselingkuh dengan wanita itu," katanya penuh penekanan. "Lalu, jika Anda saja menyakiti Mama Saya, apakah Saya harus tetap hormat dengan Anda? Tidak akan, sekalipun Anda adalah Papa Saya."
"Pergi," usir Matteo menunjuk ke arah pintu. "Sebelum Saya menggunakan kekerasan dengan menyeret Anda keluar," lanjutnya.
Setelah kepergian pria paruh baya itu, Matteo duduk di samping Mita, mengusap bahu Mamanya. "Kamu beneran mau Mama sama Papa cerai?" Pertanyaan Mita membuat Matteo terdiam.
Dulu, Matteo selalu melihat pertengkaran Mama dan Papanya. Tapi juga tidak menginginkan mereka bercerai. Berharap suatu hari, Tuhan akan menyatukan mereka kembali. Hingga Papanya berselingkuh, Mamanya masih bertahan karena selalu ingat perkataan Matteo jika tidak ingin orang tuanya bercerai. Seiring berjalannya waktu, Matteo semakin mengerti, apalagi saat tau jika Papa dan selingkuhannya sudah menikah. Dan kenyataan jika selingkuhan Papanya adalah Mama dari musuhnya. Lalu ditambah sang Papa sudah berani melakukan kekerasaan. Matteo semakin mengerti, jika mereka tidak bisa lagi bertahan. Hubungan mereka sudah tidak sehat lagi. Dari sanalah Matteo selalu bilang pada sang Mama untuk bercerai, tapi Mama selalu mengatakan tidak dan memilih bertahan demi Matteo.
Terkadang, Matteo menertawakan takdirnya. Kenapa selalu dia yang menjadi musuhnya, dalam segi apapun. Angkasa. Seseorang yang pernah menjadi sahabatnya di masa lalu, dan menjadi musuhnya sejak saat itu hingga sekarang.
Ya, mungkin memang sekarang waktunya, untuk Matteo mengakhiri semua ini. "Ma, Mama udah nggak perlu mikirin Matteo. Matteo cuma mau kebahagiaan untuk Mama. Matteo tau, Mama berusaha bertahan demi Matteo, meskipun jauh di lubuk hati Mama, Mama merasa sakit."
"Seharusnya Matteo yang minta maaf, karena udah jadi anak yang egois dan nggak mikirin perasaan Mama." Matteo memeluk Mita, Mamanya itu menangis sesenggukan.
"Matteo, jangan tinggalin Mama ya, Nak," gumam wanita itu.
Matteo mengecup dahi sang Mama lama, mengangguk. "Pasti, Ma."
"Sekarang Mama istirahat aja. Udah nggak perlu dipikirin lagi. Mama cukup ingat, Mama punya Matteo." Matteo menuntun Mita untuk ke kamar, beristirahat.
Setelah melihat Mamanya pulas, barulah Matteo menghubungi Ayana. Saat ini, Matteo benar-benar membutuhkan pacarnya itu.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk Matteo sampai, dengan segera ia menghubungi Ayana, dan tidak berselang lama, gadis itu muncul dari balik pintu. Ayana terlihat khawatir saat melihat wajah Matteo dengan jelas. Laki-laki itu menangis. "Matt, lo kenapa?" tanyanya, membawa Matteo ke dalam pelukan. Matteo membalas pelukan Ayana dengan erat, menangis tanpa suara.
Ayana mengusap punggung Matteo yang bergetar. "Masuk dulu," katanya menuntun Matteo, masih dalam posisinya, saling berpelukan.
"Ay, gue lega banget, Mama bener-bener mau cerai sama Papa," gumam Matteo membuat Ayana menarik diri, lalu menatap Matteo.
"Mama setuju buat ceria?"
Matteo mengangguk, tersenyum. "Gue ngerasa bersalah, selama ini selalu jadi anak yang egois. Karena nggak mau mereka cerai."
Ayana dengan cepat menggeleng. "Jangan salahin diri lo. Saat itu, lo cuma anak kecil yang nggak pengen liat keluarganya hancur. Lo ingin mereka terus bersama-sama. Sampai akhirnya lo remaja dan menginjak dewasa, saat itu lo mengerti."
"Memang, nggak semua apa yang kita inginkan itu terpenuhi. Karena ada beberapa yang memang nggak bisa dipaksakan. Salah satunya adalah orang tua lo," lanjut Ayana. "Sekeras apapun lo mempertahankan mereka. Kalo salah satunya nggak ada yang mau berusaha, ya nggak bisa. Semua berakhir."
"Jadi, berhenti salahin diri lo. Lo itu anak yang baik, yang mereka punya. Buktinya lo mencoba untuk mempertahankan itu semua, kan?" Ayana tersenyum hangat, mengusap pipi Matteo yang basah.
Matteo mengangguk, merasa bangga dengan Ayana. Dan memang benar, jika dirinya merasa sedang tidak baik-baik saja, pelariannya yang tepat adalah ke Ayana. Gadis itu selalu saja berhasil membuatnya menjadi lebih baik, hatinya selalu menghangat saat mendengar kalimat-kalimat Ayana.
"Makasih ... makasih karena lo selalu ada di saat gue membutuhkan. Semua tentang lo, gue merasa bangga dan gue adalah laki-laki paling beruntung karena memiliki lo." Matteo menatap Ayana. Bahkan dengan melihat wajah pacarnya, Matteo merasa bahagia.
Ayana tersenyum hangat, mengangguk. "Duduk dulu. Gue ambilin minum," kata Ayana.
Matteo salah, bukan Matteo yang bangga karena memiliki Ayana. Tapi, Ayana yang bangga karena memiliki Matteo. Orang mengenal, Matteo itu seperti tidak mungkin merasa sedih, dan tidak rapuh. Justru, karena Matteo menutupinya dengan sangat rapi, membuat tidak banyak orang tau sisi lain dari Matteo. Karena sebenarnya, laki-laki itu sangat rapuh. Ada banyak kesedihan yang dirasakan Matteo. Bahkan sejak kecil, Matteo sudah melalui banyak hal. Di mana kedua orang tuanya yang selalu bertengkar, tidak pernah mengalami keharmonisan dari keluarganya. Siapa yang bisa setegar itu? Karena tidak semua orang bisa menutupi kesedihan dan kerapuhannya, seperti yang Matteo lakukan selama ini.
"Nanti lulus, lo mau lanjut mana, Ay?" tanya Matteo mengalihkan pandangannya menjadi menatap Ayana.
"Gue pengen lanjut di Finlandia," gumam Ayana, matanya melirik ke arah Matteo.
Matteo tersenyum, mengacungkan jempolnya. "Gue dukung lo."
"Lo nggak papa? Karena kita bakal ldr," tanya Ayana.
"Nggak papalah. Kenapa harus keberatan. Lo kan ke sana buat mengejar impian lo. Buat ngelanjutin pendidikan," balas Matteo. "Dan gue bangga dengan itu. Yang penting, selama ldr, kita sama-sama saling jaga hati aja."
Ayana menghembuskan napasnya lega, tersenyum, mengangguk. "Kalo lo, mau lanjut ke mana?"
"Gue yang deket-deket aja, yang penting masih di Indonesia, Ay. Kalo nggak UI ya UGM. Gue juga harus jagain Mama," balasnya tersenyum.
"Gue dukung, lo pasti bisa, Matt." Ayana tersenyum lebar, memberi semangat untuk Matteo. Karena Ayana sangat tau, sebenarnya Matteo itu pintar, hanya malas saja dan suka seenaknya. Padahal jika diasah lagi dan lagi, laki-laki itu sangat cerdas. Karena untuk ranking satu angkatan saat kenaikan kelas, Matteo selalu berhasil masuk 15 besar. Ayana yakin, Matteo bisa masuk ke universitas yang diinginkan. Dan memang, selama ini Ayana telah salah menilai Matteo. Kenakalannya yang menutupi kepintaran laki-laki itu.
"Jujur aja gue kesel liat lo yang males-malesan, padahal lo itu pinter banget."
"Gue tau, gue mengakui itu," katanya dengan bangga. "Tapi, gue cuma nggak mau kalo disuruh ikut olimpiade gitu-gitu. Karena gue paling males."
Ayana melongo, terkejut. "Astaga, jadi selama ini, itu alasan lo?"
Matteo mengangguk polos, membuat Ayana tertawa, mau tidak mau Matteo ikut tertawa terbahak merasa konyol dengan tingkahnya. Matteo tersenyum, ia tidak akan melupakan malam berharga ini.
Semarang, 25 Juli 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
MATTEO ✔ [Completed]
Ficção Adolescentecover by @its_lyxa.real start: 25 Mei 2021 finish: 31 Juli 2021 ***** Ayana Savannah memiliki kehidupan yang sempurna sejak kecil, kedua orang tua yang selalu menyayanginya dan apa pun yang diinginkan selalu terpenuhi. Berbeda dengan Matteo, meskip...