24. Kepingan Masa Lalu

133 21 0
                                    

HAPPY READING

•••••

“Kenalin, ini Mama tirimu.” Matteo, laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolah itu menatap sang Papa dengan datar. Ia tidak menyangka, selama ini yang menjadi selingkuhan Papanya adalah Mama Angkasa, mama dari sahabatnya. Dan Mama Angkasa pun sahabat baik Mamanya. Matteo hanya tidak menyangka, kedua orang dewasa di depannya ini sangat mengecewakan dan tidak tau malu.

“Terus? Matteo harus gimana?”

“Setidaknya kamu harus sopan. Lagian kamu sudah lama mengenal Tante Anis.” Perkataan Papanya sontak membuat Matteo tertawa datar.

Ck, Tante Anis yang dulu Matteo kenal bukan pelakor. Dia baik, nggak kayak gini,” kata bocah yang sudah berusia tiga belas tahun itu.

Papa Matteo terlihat mengeraskan rahangnya, menatap Matteo marah. “Jaga ucapanmu, Matteo. Papa nggak pernah ngajarin kamu untuk bersikap nggak sopan begini.”

Matteo mengangguk setuju, dengan kalimat Papanya. “Tapi sekarang, secara nggak langsung Papa udah ngajarin Matteo untuk nggak sopan sama orang kayak kalian,” balasnya dengan ringan. Menatap Papa dan Tante Anis tajam secara bergantian, sebelum  memutuskan untuk pergi. Matteo sangat muak jika harus berlama-lama ada di sini. Pemandangan yang menjijikkan di mata Matteo.

“MATTEO! MAU KE MANA KAMU!” teriak sang Papa. Sedangkan Tante Anis mengusap tangan pria paruh baya itu.

“Sudah, Mas ... sudah.” Meskipun samar-samar, Matteo masih bisa mendengarnya dengan jelas, ia hanya tersenyum miris saja. Memang benar-benar tidak tau malu.

Matteo benar-benar membenci saat semua memori buruk tentang keluarganya, terputar  kembali. Apalagi saat melihat Angkasa, Matteo semakin membenci laki-laki itu. Bagaimana saat sang Papa bercengkrama dengan Angkasa begitu hangat. Laki-laki itu, telah merebut sesuatu yang paling berharga di hidup Matteo. Seorang panutan baginya.

“Angkasa mau apa? Biar Papa beliin?” Papa Matteo, yang menjadi Papa tiri untuk Angkasa. Pria bernama Miko itu bertanya pada seorang bocah yang berusia seperti anak kandungnya.

Bocah itu, Angkasa, ia mengangguk-anggukkan kepala. “Angkasa mau mainan mobil-mobilan, boleh nggak, Pa?”

Miko mengangguk tersenyum penuh kehangatan. “Boleh dong. Ambil aja mainan  yang Angkasa mau.”

“Yeay, makasih, Pa!” serunya bersorak senang, dan langsung pergi berlari begitu saja untuk mencari mainan yang diinginkannya.

Sedangkan seorang bocah laki-laki, berdiri tidak jauh dari toko mainan itu, dia Matteo, menatap interaksi kedua manusia yang baru saja memasuki toko itu dengan marah yang akan meledak. Angkasa, laki-laki yang dulu menjadi sahabatnya, telah merebut Papanya. Dan fakta jika Angkasa adalah saudara tirinya, membuat Matteo semakin membenci laki-laki itu.

Matteo mengusap wajahnya dengan kasar, memori buruk tentang masa lalu yang terus berputar membuat Matteo frustrasi. Bayang-bayang tentang memori kelam itu memang selalu menghantui Matteo selama ini. Apalagi saat wajah sang Mama yang menangis, kekecewaan yang terlihat jelas di wajahnya, kesakitan yang teramat dalam pasti sangat dirasakan sang Mama.

“Ma, Matteo nggak mau ya, punya orang tua yang cerai. Matteo mau Mama sama Papa terus sama-sama, bagaimanapun keadaannya.” Matteo, saat itu masih berusia sebelas tahun berkata dengan lancar. Mengungkapkan keinginan kecilnya. Mungkin Matteo kecil seegois itu, tapi memang itulah kenyataannya. Matteo hanya ingin memiliki keluarga lengkap yang sempurna. Meskipun tau, Mama dan Papanya selalu saja bertengkar.

Mita mengusap kepala Matteo dengan lembut, tersenyum hangat menatap putra satu-satunya itu. “Iya, Nak. Apapun untuk Matteo, Mama akan selalu berusaha memberikan yang terbaik. Yang penting, Matteo fokus aja sama belajarnya. Biar jadi orang sukses.”

“Matt, lo ngelamunin apa sih? Dari tadi dipanggil nggak nyahut-nyahut.” Ayana yang sejak tadi duduk di samping Matteo merasa aneh dengan sikap kekasihnya itu.

Matteo terlihat kaget,  menggelengkan kepalanya. “Lo mau bilang apa?” tanya Matteo.

Ayana tersenyum simpul, mengusap bahu Matteo pelan. “Lo kalo ada sesuatu yang bikin nggak tenang cerita aja ke gue. Biar lega, jangan diem aja.”

“Iya, Ay,” balas Matteo bergumam. “Gue cuma, kepikiran sama masa lalu.”

“Masa-masa buruk itu, selalu aja ganggu gue.  Seakan itu adalah kenangan yang patut dikenang,” lanjut Matteo pelan.

“Tapi sekarang, lo bisa ngelewatin ini semua. Lo keren, Matt.” Ayana menatap Matteo hangat, “Terkadang ya, Matt. Memang ada beberapa hal buruk yang terjadi di masa lalu itu, selalu kita ingat. Hanya saja bukan untuk dikenang, tapi untuk pelajaran hidup kita nanti di masa depan. Jangan sampai, kita akan mencontoh hal seperti itu nantinya.”

“Gue yakin, Matt. Lo akan bisa melewati masa-masa ini, meskipun nggak gampang memang. Tapi, gue selalu ada di sisi lo, nemenin lo ngelewatin masa sulit-sulit ini.”

“Janji, Ay?” tanya Matteo menjulurkan jari kelingkingnya. Ayana membalas, tersenyum mengangguk.

“Janji.”

“Makasih, Ay. Makasih ....” Matteo menarik tubuh Ayana, membawa ke dalam pelukannya.

“Sama-sama, Matt. Gue kan pacar lo,” balas Ayana terkekeh.

Entah kenapa Matteo tersenyum mendengarnya, terasa begitu indah di telinganya dan membuat darahnya berdesir. Terlihat berlebihan memang, tapi itulah faktanya. Memang benar, saat jatuh cinta, hal sekecil itu pun akan terasa sangat berarti. Dan kamu, akan merasakannya nanti, jika sudah menemukan seseorang yang tepat.

“Coba dong, Ay, ngomong sekali lagi. Diulang,” kata Matteo meminta.

“Ngulang yang mana?” tanya Ayana mendongak.

“Yang gue kan pacar lo.” Matteo mengulang kalimat Ayana sama persis.

Ayana terkekeh, menatap Matteo geli. “Memangnya kenapa?”

“Nggak papa, mau denger aja. Ulangi cepet,” kata Matteo memaksa.

“Gue kan pacar lo.”  Ayana mengulang kalimatnya dengan pandangannya menatap ke arah Matteo penuh arti. “Udah, lagi nggak?”

“Udah ... udah. Soalnya gue ntar tambah mleyot, nggak bisa, nggak kuat,” kata Matteo menyengir. “Coba deh pegang  dada gue, rasain. Jantung gue berdebar kenceng banget karena lo,” lanjutnya.

Ayana meletakkan kepalanya bersandar di dada bidang Matteo, lalu mengepaskan telinganya tepat di mana jantung Matteo berada, dan mendengarkan degup jantung pacarnya itu. Ayana tersenyum hangat. “Kok kenceng banget sih, Matt?” tanyanya terkekeh.

“Nggak tau, tapi itu tandanya lo bener-bener berpengaruh banget buat gue. Terutama jantung gue.” Matteo menatap Ayana dengan senyum manis yang terpampang jelas di wajah tampannya.

Ayana mengamati dengan seksama, jika dilihat-lihat, Matteo memang tampan sekali, laki-laki itu memiliki garis rahang yang tegas dan hidung yang mancung. “Jangan ngeliatin gue kayak gitu. Ntar malah makin jatuh cinta,” kata Matteo terkekeh.

Ayana tersadar, mendengus kesal dan segera menjauhkan tubuhnya dari Matteo, sedikit mendorong dada laki-laki itu. “Ih apaan sih, rese banget lo.”

“Ngaku aja, lo tadi sempet terpesona, kan, sama gue?” tuduh Matteo dengan menaik-naikkan alisnya, menggoda.

“Nggak tuh. Plis banget ya, nggak usah kepedean. Iyuh,” gerutu Ayana–mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Ih gemes banget sih sama pacar gue ini,”  gumam Matteo menarik tubuh Ayana untuk dipeluk lagi. “Gini terus ya, Ay. Untuk waktu yang lama ....”






















Semarang, 26 Juli 2021

MATTEO ✔ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang