40. Belum saatnya

55.3K 4.7K 254
                                    

Happy reading 🙆

Mona membuka matanya dengan peluh membasahi keningnya, ini sudah ketiga kalinya ia memimpikan kehadiran sang anak di tengah-tengah mereka berdua, antara Mona dan Fahri.

Mona menghela nafas pelan, matanya fokus menatap langit-langit kamar barunya yang begitu mewah, saat pertama kali mendaratkan kakinya di rumah mewah ini Mona terkagum-kagum akan arsitekturnya.

"Mimpi lagi?" Tanya Mama Anggi yang ikut terbangun karena pergerakan Mona diatas kasur, sudah seminggu Mona tinggal di rumah orang tuanya dan selama itu pula Mama Anggi selalu menemaninya.

Mona menoleh ke arah Mamanya. "Iya Ma," jawab Mona.

Mama Anggi bergerak mendekap hangat anaknya. Selama Mona tinggal di rumah Mama Anggi perempuan itu tidak pernah sekalipun bertanya tentang dirinya dan Mama Anggi, Mona seolah mengikuti apapun yang terjadi dalam hidupnya dan membiarkannya mengalir bagaikan air.

"Kamu mau tahu kenapa kamu bisa ada di panti asuhan?" Tanya Anggi.

Mona mengangguk pelan dalam dekapan Mamanya.

"Dulu persaingan bisnis kejam dan kotor, saat itu Papamu sedang diatas puncak-puncaknya hingga banyak pihak lawan yang merasa kesal karena terkalahkan, dulu keluarga kami terancam. Saat itu kami berhasil menyelamatkan Ananta dari pihak lawan tetapi tidak untuk kamu Nak, pihak lawan membawamu saat masih bayi dan ternyata kamu ditaruh di panti asuhan," Mama Anggi memberi jeda beberapa detik untuk mengambil nafas, wanita itu sedikit bergetar saat menceritakannya Mona tahu itu.

"Saat tahu kamu di panti Mama sering berkunjung saat usiamu 12 tahun, Mama masih belum berani mengambil kamu saat itu karena kamu terlalu kecil untuk hidup dibawah tekanan. Mama kembali setelah kamu memutuskan keluar panti, Mama sangat terpukul saat mengetahui Bunda Marie telah meninggal. Maafin Mama Mona," ucap Mama Anggi sambil menangis sejadi-jadinya.

Sejujurnya Mona tidak terlalu menangkap apa yang dibicarakan Mamanya itu karena beliau mengatakannya dengan tidak jelas dan terbata-bata akibat menangis, Mona mempererat pelukannya, sejak dulu ia selalu merindukan sosok orang tua yang begitu hangat setelah kepergian bunda Marie.

"Papah kemana, Ma?" Tanya Mona.

Anggi terdengar menghela nafas berat. "Papah sudah meninggal dua tahun setelah kamu diculik, Papah meninggal ditangan lawan," ucap Mama Anggi masih ada nada yang begitu terpukul saat mengatakannya.

Mona mengangguk pelan. "Maaf ya Ma."

"Kenapa minta maaf sih?"

"Mau minta maaf aja," ucap Mona tulus.

"Besok kita ke makam Papa sama jagoan ya," ucap Mama Anggi membuat Mona mengangguk antusias, bayi laki-laki itu dinamai Mona jagoan kecil.

Setelah beberapa menit berbincang Mama Anggi mulai terlelap kembali, Mona melepaskan pelukan Mamanya pelan-pelan agar tidak menganggu tidur wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu.

Mona melangkah menuju ruang gym, hanya saja tujuannya bukan tempat gym melainkan balkon ruangan gym, disana tempat yang paling pas untuk menenangkan pikiran karena terletak di lantai paling atas yaitu lantai empat.

Mona memejamkan mata seraya meraup udara malam yang begitu menyejukkan setelah menginjakkan kakinya di balkon, ia tidak sadar bahwa seseorang sejak tadi duduk di sudut balkon menatapnya dengan tatapan terkejut.

"Ngigau?" Tanya Ananta seraya menatap lurus Mona yang sedang menutup mata dan menghirup udara dalam-dalam.

Mona menoleh saat sayup-sayup mendengar suara Ananta.

Wedding Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang