Butiran lembut salju yang kembali turun membuat Taehyung terlarang untuk pulang. Momen makan siang yang berakhir mellow itu membuat Bibi Park tidak tega membiarkan sahabat putranya keluar dari rumah begitu saja. Ia justru menyuruh Jimin membawa Taehyung ke kamarnya. Setelah menangis dalam waktu yang lama hingga membuat kedua matanya benar-benar sembab, pemuda itu sepertinya kelelahan dan kini tengah tertidur. Sementara sang pemilik kamar justru mondar mandir di samping ranjang sembari mematut wajah di depan layar pipih canggih miliknya.
"Ada masalah apa?"
"Astaga!" Suara bariton Taehyung yang tiba-tiba terdengar hampir membuat Jimin melemparkan ponsel yang ia genggam saking terkejutnya. "Kenapa kau sudah bangun, bocah?"
"Ngh..." Taehyung menggeliat, lalu mengucek matanya yang masih sedikit buram dan perih. Diapun bingung kenapa bisa jatuh tertidur selelap itu di sini. Rumah Jimin terasa begitu nyaman. "Kau ingin aku tidur selamanya?" seloroh Taehyung asal.
"Ya! Mulutmu!" pekik Jimin dengan mata yang sudah melotot. Objek yang ditatapnya sengit hanya cengengesan dengan mata yang masih terbuka kecil.
"Ada apa di ponselmu Jimin-ah? Kenapa wajahmu begitu?" ulang Taehyung.
"Hmh. Lihat." Jimin mendudukan diri, atau lebih tepatnya terjun di kasur empuk itu di sebelah Taehyung yang masih berbaring, menyodorkan ponsel ke depan wajahnya. "Bosmu yang mengirimkan ini dan menggangguku dari tadi."
Taehyungpun bangun sembari meraih persegi panjang pipih itu. Ia membaca apa yang tertera di sana dengan seksama.
"Lalu?" Ia menatap Jimin tanpa ekspresi apapun.
"Aaargh. Tidak!" Jimin mengusak kasar rambutnya, membuat Taehyung tertegun sejenak.
"Hm. Kalau tidak mau ya sudah. Kenapa kau harus berteriak seperti bebek kelaparan?" enteng Taehyung yang telah mengulurkan kembali smartphone di tangannya pada pemiliknya.
Jimin hanya mendengkus kasar, lalu suasana kembali hening.
Dua jam lalu setelah Taehyung tenang dan tertidur, Jimin baru mengecek ponselnya dan menemukan pesan dari Hoseok yang berisi sebuah pamflet audisi dancer dari sebuah agensi. Dan berikutnya, Hoseok juga mengirimkan formulir pendaftaran online. Pemuda itu lalu memberondong ponsel Jimin dengan berbagai pesan seperti 'Ayo!', 'Aku tahu agensi ini, kredibilitasnya tinggi', 'Ikutlah!', 'Aku bisa membantumu', 'Coba dulu!', 'Coba sekali lagi!', 'Pokoknya kau harus ikut!'.
Ngomong-ngomong soal hubungan Jimin dan Hoseok, sebenarnya Jimin tidak merasa seakrab itu dengan si pelatih tari bahkan setelah obrolan mereka yang cukup lama. Jimin bukanlah orang yang mudah beradaptasi dengan orang baru jika kau ingat. Tapi berbeda dengan Hoseok. Bahkan jauh sebelum mereka bertemu, pemuda itu telah merasa begitu dekat dengan Jimin yang sepertinya satu visi dengan dirinya. Ia begitu tertarik pada talenta Jimin yang sering ia lihat lewat video story-story di aplikasi chat Taehyung.
"Kau masih ingin melakukannya kan, Jim?"
Jimin berpaling ketika suara itu kembali menyapa rungunya. Kali ini dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Takut, bimbang, namun Taehyung masih dapat menemukan sebuah ambisi familiar dalam iris hazel itu.
Jimin menggeleng pelan lalu kembali menatap lurus, bersandar sepenuhnya pada kepala ranjang seperti yang dilakukan Taehyung. Nafasnya terdengar berat, menggambarkan pergulatan besar dalam batinnya. Namun lamunannya kembali buyar kala tangan hangat Taehyung mendarat lembut di pundaknya.
"Dengarkan nuranimu baik-baik, Jimin-ah. Karena nurani adalah perwakilan Tuhan dalam diri manusia. Kau tidak akan pernah salah langkah bila mengikutinya," ucap Taehyung dengan suara dalamnya yang begitu menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello My Summer Rain! (Kim Taehyung)
FanfictionKim Taehyung itu memiliki sifat terlampau unik, bagai alien yang terdampar di bumi. Ia tinggal sebatang kara dalam sebuah rumah kayu, lalu menjadikan rumah itu sebagai Mars-nya sendiri dan mengumpulkan teman-teman aliennya di sana. Namun, sebuah ins...