DUA PULUH ENAM

7 5 8
                                    

Bayang bayangan tirai menari kesana-kemari, membuat orang yang sedang terbaring di brankar tersentak dari tidurnya. Ekor matanya melirik jam dinding yang tepat di atas pintu masuk, kini dia menatap seluruh penjuru ruangan tidak ada siapapun selain dirinya.

Dia tersenyum kecil, sekarang bagaimana caranya memberi tahu tentang kebenarannya pada Keluarganya, Ayah dan Ibu dan juga adiknya. Rasanya baru kemarin dia senang, tapi harus dihadapkan dengan kenyataan yang pahit.

Rasanya tubuhnya seperti tidak berdaya lagi, saat mendengar informasi tentang sakit yang selama ini  dia rasakan, sakitnya sudah sangat ganas dan harus di jinakkan, Ia menegakkan tubuhnya. Meraih ponsel yang sedari tadi dia nonaktifkan.

Ponsel itu kembali hidup. Ada 10 kali panggilan tidak terjawab dari Bunda beberapa menit yang lalu. Dan dari Attaya baru saja. Keningnya berkerut sesaat. Karena panggilan dari Attaya Kembali masuk, dia menekan tombol warna merah . Svarga pikir Attaya akan kembali menelfon tapi tidak, dia tidak menelfon lagi.

Dia kembali menghela nafas panjang. Bagaimana caranya memberi tahu kondisinya pada orang-orang terdekatnya.

"Maafin Arga Bunda, Ayah Salsa maafin Abang." Kepalanya ia pegang lagi, rasa sakit itu kian menggerogoti kepalanya.

__

Attaya duduk di kursi panjang yang disediakan pihak rumah sakit. Dia mengecek kembali ponselnya. Masih berusaha menghubungi Daffa. Tapi anak itu masih di luar jangkauan.

Pintu lift terbuka lebar, terlihat dengan jelas bahwa orang yang baru saja keluar itu, baru saja mandi. Rambutnya masih basah. Dengan Hoodie hitam, beserta masker putih yang menutupi wajahnya setengah. Dia Oskar.

Oskar mengulur tangannya bungkus nasi goreng yang tadi dipesan. "Nih," Oskar tersenyum kecil, sebelum dia membuka suara lebih banyak. "Lo yakin? Itu Daffa?"

Attaya yang tadi ingin membuka bungkusan nasinya menjadi tertunda. Dia kembali menutup rapat-rapat.

"Yakin pake banget! Bentar" Dia meninggalkan Oskar, kembali masuk keruangan Papa. Dia meletakkan bungkusan itu di meja. Tuan Raffi sudah tertidur pulas. Dia kembali keluar.

Oskar menyadarkan kepalanya ke dinding.

"Apa yang mereka sembunyikan?" gumamnya masih terdengar oleh Attaya.

"Gue harap mereka gak menyembunyikan apapun." Jawab Attaya, ekor matanya tertarik melihat seorang Dokter dan suster yang baru keluar dari ruangan sebelah kanan tepat di sebelah ruangan Ayahnya.

Oskar ikut melirik ke arah mata sahabatnya itu.

"Cantik sih, tapi mereka udah punya keluarga!" bisik Oskar.

Attaya mendacak kesal, dia memutuskan kembali meluruskan pandangannya. "Yang ngomong gi-" belum sempat selesai ucapannya, dia harus terdiam karena mendengar ucapan Dokter tersebut.

"Dia harus di operasi, kalau tidak kita tidak bisa menjamin keadaannya akan baik-baik saja dalam waktu dekat."

"Tapi Dok, kita belum menerima ijin orang tuanya."

"Terus usahakan, dan jangan sampai dia minta pulang dulu untuk saat ini!"

"Baik Dok."

Oskar dan Attaya saling lempar pandangan. Seolah itu adalah berita untuk mereka.

"Coba telfon Adek mereka Kar! biar gue yang nanya ke resepsionis!" titah Attaya.

About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang