DUA PULUH SATU

33 18 13
                                    


Malam agaknya berputar lebih lama dari biasanya, seperti merangkak anak kecil. hawa malam itu pun sangat berbeda, dari biasanya. Tubuhnya  mungkin sudah mengenakan pakaian yang tebal tapi itu tidak mampu mengusir rasa dingin yang menusuk ke kulitnya. Dengan kaki yang sudah di ciptakan tuhan panjang, kini ia berjalan masuk ke gedung putih dan sedikit bercorak kuning itu.

Perlahan kaki itu sudah berada di ubin lantai, dia sudah tau arah langkah selanjutnya, jadi tidak perlu singgah ke resepsionis. Kali ini dia sedikit berlari menuju lift yang sedang terbuka karena lift itu hendak  tertutup lagi.

Suara dentingan lift agaknya membuatnya tambah mencekam perasaannya sendiri. Dia yang takut naik lift atau takut karena sekarang sudah sendiri saja di dalam lift. Senyumannya hambar dia tidak takut itu dia hanya mencoba menepis yang dia rasakan takut akan melihat kenyataan.

Lift itu berhenti kembali. Berhenti di lantai yang tadi dia pilih setelah dia masuk. Dengan langkah besar dia keluar, kembali mengayunkan kaki. Menuju ruangan yang sedari tadi dia tujuh.

Pintu itu terbuka sedikit, dari celah pintu terlihat sosok tampan yang sedang tertidur pulas, ditangannya sudah dipasang infus. Dengan hati-hati dia masuk tanpa membuat suara sedikitpun.
Dia duduk di bangku sebelah Brankar. Ia melirik jam yang menunjukkan pukul 01:57 WIB. matanya beberapa menit yang lalu sudah tertidur tapi sekarang rasa ingin tidur itu sudah lenyap. Hal seperti ini sudah sering terjadi, saat kesehatan sahabatnya itu menurun dia akan segera datang.

"Sampai kapan? sok kuat hah? dan mereka juga harus tahu Ga!" cibirnya pelan, bahkan nyaris tidak akan terdengar oleh siapapun.

Helaan nafasnya terdengar berat, dia merasa bersalah karena telah berbohong pada keluarga temannya ini, tapi dia juga terpaksa, terpaksa menuruti permintaan.

"Gue kuat! Mereka gak perlu tahu!" ucapnya bersama dengan matanya terbuka perlahan.

"Bacot! mereka keluarga lo Ga, mereka berhak tahu tentang lo," jedanya, rasanya dia sudah dari satu tahun lalu selalu mengingatkan sahabatnya ini untuk bercerita tentang sakit yang dia alami. Tapi nihil tidak ada hasilnya, malahan ancaman yang dia dapat jika ingin menyampaikan berita itu. "Ara juga pacar lo kan? mereka semua harus tahu!"

Mata Svarga melebar seketika saat mendengar sebutan yang dia buat, di pergunakan Daffa. Benar Daffa Alana. "lo! Mau mati?" teriak Svarga sambil melempar bantal persegi empat kepada orang yang duduk didepannya ini. "tapi kita gak pacaran!" tambahnya. Dia menunduk dalam.

"Anak Anji!" ucap Daffa, sambil menepis lemparan bantal tadi, dia tertawa melihat tingkah Svarga seperti anak kecil jika sudah terikat dengan hal berbaur dengan Tiara.

"Nama ayah gue, bukan itu! Tapi Saan!" kembali ketus. Dia menguyur rambutnya dengan tangan yang di infus.

"Iya-iya tahu, Ayah Lo yang kemarin nyuci mobil didepan rumah kan?" kembali dia berusaha membuat suasana mencair.

"Kemarin? Gak tahu udah lupa!" ucapnya pelan. Langsung ditanggapi Daffa dengan anggukan kepala. Dia percaya Svarga tidak mengingatnya.

"Lo gak tidur?" tanyakan Svarga, Daffa hanya menggeleng. Dia tidak mengantuk sama sekali.
"Mau main game?" Kembali Svarga bertanya. Tapi kali ini hanya tawa hampa yang terpasang.

"Serius!" Gertaknya.

"Duarius!" Balas Daffa, "ogah main game sama orang sakit! Ntar yang ada mati konyol lagi!" ejek Daffa berhasil membuat Amarah anak Tuan Saan meluap. Dia melemparkan selimut tebal yang tadi di berikan suster. Kepada wajah Daffa.

"Gak sekalian tuh, kasurnya Lo lempar!?" 

"Lo mau?" tanyakan Svarga serius.

Dengan sangat yakin Svarga turun dari Brankar, hal itu jelas membuat Daffa tertawa keras, berusaha menahan pun sudah tidak sempat.

About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang