🔒01

1K 160 24
                                    


Untuk Mama dan Papa
dari Nel.
.
.
.
.
.
.

NEL. DANIELLA. Ya Tuhan. Aku menyukai namaku. Bukan karena mirip dengan Daniella Monet--bukan monyet, kumohon--atau Daniella Perkins, Daniella Alvarez, Daniella Kertesz atau siapa lah sederet aktris dan model lainnya dengan nama depan yang sama. Aku menyukai nama ini karena menurutku nama ini keren dan selain itu, aku sangat menyukai orang yang membuat nama ini untukku. Dia, seorang pria bertubuh tinggi besar, perut agak buncit, hidung mancung, dan tampan. Dia papaku, sedang merebus mi instan dan aku memperhatikannya dari belakang di meja makan.

"Butuh saus tambahan?"

Aku tersenyum. "Nel kan nggak suka pedas."

Papa terkekeh. Ia mematikan kompor, membuang air rebusan ke bak cuci piring. Mie instan yang telah direbus sebelumnya disajikan ke piring. Papa mengaduknya, setelah bumbu tercampur, ia menaruh mie itu di depanku. Mie goreng tanpa saus. Selalu begitu. Inilah satu-satunya yang bisa Papa masak. Hanya mie instan. Aku tidak peduli sesederhana apa pun makanan ini, asalkan yang membuatnya adalah dia atau Mama, maka makanan itu akan menjadi hal yang luar biasa.

Aku menyantap mi dengan lahap. Papa di depanku, menyatukan jemarinya di atas meja seraya tersenyum dan menatapku penuh perhatian. Ah, dia selalu begitu. Papa yang manis dan baik.

"Enak, Nel?"

"Enak." Aku manggut-manggut. "Seratus buat pabrik mi-nya."

Papa tertawa. Kemudian, ia mengecek jam di ponselnya. Galaxy Fold hitam yang baru ia beli sebulan yang lalu setelah iPhone lamanya hilang di taksi.

"Udah kangen Mama, ya, Pa?"

Pipi Papa merona. Aku sangat suka cara Papa merespons terhadap sesuatu tentang Mama, dan begitu sebaliknya. Aku menyukai hubungan mereka, cara mereka mengobrol, berdiskusi, memilihkan sesuatu untukku, sampai cara mereka berdebat. Papa pernah bilang bahwa, ia mendebat Mama dan menyayanginya di saat yang bersamaan.

Papa menekan layar ponsel dan mendorongnya ke tengah-tengah di antara kami. Ia menghubungi nomor Mama. Terdengar bunyi beep beberapa kali, lalu gemerisik mikrofon, dan ...

"Halo, Ganteng?"

Em. Ya Tuhan. Mamaku.

Papa mengulum senyum melihatku geli. "Masih lama, ya?"

Ada suara-suara orang dan Mama mengobrol dengan mereka. Aku bisa merasakan ia menjauhkan ponselnya. Lalu ia berkata ke telepon, "Sekarang udah mau pulang. Kalian udah makan? Nel mana?"

"Halo, Ma. Nel lagi makan mi, dimasakin Papa."

"Ya ampun... kenapa nggak delivery order aja?"

"Hujan, Ma, kasian kurirnya," kata Papa.

"Mama pulang nih, sekarang. Nanti Mama bawain makanan, ya, sekarang mau pesan taksi dulu. Bye, Papa. Bye, Nel! Sayang kalian!"

Beep. Telepon terputus.

.

Aku berada di kamarku sekarang. Kamar di lantai dua yang dipenuhi buku-buku di tiga rak besar di salah satu sisi ruangan. Siang tadi, aku baru saja menamatkan DOPPELGANGER yang ditulis Aiden Roberts. Itu adalah novel paling sukses dalam mempermainkan emosiku. Berpikir bahwa aku berada di posisi tokoh utama, Henry, di mana ia harus memilih ibunya, Julia versi satu atau versi dua, tiga, dan seterusnya. Julia yang diculik ke dunia paralel dan kembali bersama Julia-Julia yang lain--ya, aku tahu ini lumayan kompleks dan aku tak mungkin menceritakan keseluruhan isi novel itu padamu. Tapi yang terpenting adalah, Henry harus memilih salah satu dari banyak versi ibunya, di mana semua versi ibunya sangat mencintainya dan sama-sama berjuang kembali untuknya, tetapi di lingkungan sosial, Henry tidak bisa hidup dengan puluhan ibu yang segalanya persis sama. Ia harus memilih salah satu, dan itu berarti mengorbankan yang lain untuk terkurung di kapsul koneksi antar-semesta. Semua yang akan terkurung itu adalah ibunya, ibu yang mencintainya. Tak bisa kubayangkan kalau itu terjadi padaku dan Mama. Jadi, gara-gara novel itu aku menangis.

One Must Die [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang