🔒19

358 86 60
                                    

SEMUANYA MENDADAK MERAH. Dan ruangan ini sama tanpa batasnya dengan padang pasir tempatku sebelumnya berada. Tapi, di sini nyaris tidak ada apa-apa. Tidak ada gumpalan daging atau pun genangan darahku. Tempat ini tidak memiliki atas, bawah, kiri, dan kanan, dan di sini aku tidak berpijak serta tidak dapat berpindah tempat sekalipun aku bergerak.

Lalu tiba-tiba aku mencium aroma mawar yang amat tajam, disusul dengan isak tangis seorang lelaki yang suaranya begitu ... asing.

"Bee ...!"

Aku mengernyit.

"Setidaknya bangun dulu walaupun sekali, Bee ...." Suara itu pecah oleh napas yang terpenggal-penggal.

Aku mencari-cari suara itu, barangkali orang itu-meski tampaknya tengah mendapati masalah-mau menolongku. Namun sialnya, selama apa pun aku berlari, aku tidak pernah menemukan orang itu. Tentu saja karena aku tidak dapat berpindah tempat. Aku selalu berada di tempat ini. Atau mungkin aku berpindah tetapi karena tidak ada apa pun yang bisa dijadikan acuan, aku merasa tidak berpindah. Sebab semua yang di sini merah. Tak ada perbedaan di mana pun. Merah, tak berarah, tak berbatas, teramat luas namun di saat yang bersamaan juga menghimpitku-secara harfiah-dengan warnya yang menyala. Bergerak di sini seperti bergerak di kedalaman samudera. Hanya saja warna merah di sini tak bisa disentuh. Memang begitu janggal.

"HALO ...!" Aku berteriak. "Aku di sini, bisa tolong aku?"

Tangisan tadi berubah semakin dekat, dan kini terasa seperti orang itu berada tepat di sisi kepalaku.

"KAMU DI MANA?!" Semakin aku merasakan dekatnya tangisan lelaki itu, semakin aku merasa sakit hati. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada ini, kurasa. Ketika aku membutuhkan pertolongan, dan pertolongan itu teramat sangat dekat. Aku bahkan bisa mendengar suara halus dari embusan napas lelaki itu. Namun tak peduli seberapa terasa dekatnya, aku tidak bisa mencapainya. Aku bahkan tidak bisa melihatnya. Seolah-olah Tuhan sedang mempermainkanku dengan pertolongan-pertolongan yang sengaja Ia sembunyikan.

"Tolong aku! Bisa nggak! Siapa pun yang denger!" Akhirnya aku pun kesal sendiri dan menangis.

"Bee, kalau ini yang terbaik buat kamu," Astaga, suaranya. Terasa persis bahwa suara berat dan lemah itu dibisikkan tepat ke telingaku, "kakak akan belajar buat ngerelain kamu."

Suara dia .... Mungkinkah Bee yang dia panggil itu aku? Mungkinkah aku tengah tak sadarkan diri di suatu tempat karena jiwaku tersesat di sini. Aku pasti harus keluar dari sini. Tapi ke mana? Tak ada sesuatu yang tampak bisa mengeluarkanku. Ruangan ini homogen. Benar-benar homogen.

Aku tidak pernah seputus asa ini. Tubuhku melorot begitu saja, terjatuh entah seberapa jauh. Yang jelas aku tidak merasakan apa pun di bawahku, dan mungkin aku tidak terjatuh sama sekali.

Aku terus digelayuti pertanyaan, ke mana Tuhan? Kenapa ia membiarkanku terjebak di tempat aneh ini? Kenapa ia membiarkan daging dan darahku terbengkalai di tanah gersang?

Aku terisak. Membenamkan kepala ke lutut yang kupeluk erat-erat. Bahkan aku tak bisa merasakan diriku. Secara harfiah, aku benar-benar kosong. Dan aku benci merasakan ini. Aku benci merasa bahwa Tuhan tidak menyukaiku. Marah membayangkan bagaimana Dia berpikir bahwa aku adalah kebelumjadian yang gagal sehingga Dia membatalkan penciptaanku dan membuangku ke sini-mungkin inilah tempat sampah Tuhan.

"Siapa namamu?"

Aku membeku. Seseorang memanggil namaku. Suaranya serak dan kering, bunyi yang teramat tua.

One Must Die [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang