SELEPAS MAKAN MALAM, Papa mengajak kami ke beranda belakang. Aku berdiri memegangi pagar kayu yang membatasi lantai dengan taman tempat Mama dan Nel Palsu menghabiskan waktunya siang tadi. Papa di sampingku, sementara Mama dan Nel Palsu duduk di kursi beranda. Untuk beberapa detik pertama, kami diam dalam kecanggungan dan dinginnya malam.
"Kenapa?" Aku membuka percakapan. "Kenapa Papa nyuruh kita ke sini?"
Tidak ada kata-kata. Satu-satunya jawaban adalah ponselnya yang ia ulurkan padaku. Aku membaca judul berita yang tertera di layar.
Korban Tewas Kecelakaan Pesawat Asian Airlines Z2290 Bertambah 12 Orang
Aku mengangkat kepala, menggilir Mama, Papa, dan Nel Palsu dengan tatapanku satu per satu. Tampaknya, hanya aku yang tidak memahami situasi ini.
"Itu kecelakaan pesawat 14 tahun yang lalu," Papa membuka suara.
Genggamanku di ponsel Papa mengerat. Sementara kekakuan dan desir angin malam menyelusup di antara kami berempat. Aku menunggu Papa melanjutkan.
"Kita semua ada di dalam pesawat itu."
Aku menelan ludah. "Papa serius?"
"Iya."
Yang kulakukan saat ini adalah termenung. Bagaimana mungkin aku bisa mengalami kejadian luar biasa di masa lalu tanpa mengetahuinya? Bagaimana mungkin semua ini disembunyikan dengan begitu rapat? Semua orang tahu bahwa mengalami kecelakaan pesawat adalah pengalaman langka, kalian bisa mengoceh menceritakannya ke semua orang tanpa membuat mereka bosan. Tapi, Papa dan Mama justru menyembunyikannya. Haruskah? Apa yang membuat mereka sedemikian lama menyembunyikan hal ini?
"Kita semua selamat?" Alih-alih menanyakan hal yang ingin kutanyakan, aku malah memberikan pertanyaan bodoh.
Papa mengangguk. Tentu saja kami selamat. Kami ada di sini sekarang. Kedua mata Papa entah mengapa ... redup. Mama pun begitu, sementara Nel Palsu diam menunduk, memainkan ujung piyamanya.
"Tapi, Nel nggak berhasil ditemukan," Papa menjelaskan.
Mataku beralih pada Mama yang tiba-tiba mengusap kepala Nel Palsu dan itu membuat tenggorokanku sakit. Mereka tidak menjelaskan Nel yang mana yang hilang. Mereka hanya bilang bahwa Nel tidak berhasil ditemukan, dan Nel di sana jelas mengacu pada orang yang bertahun-tahun tidak berada di rumah ini. Nel di sana tidak mengacu padaku, lalu aku ...? Bukankah aku ini Daniella-nya mereka?
"Nel hilang bertahun-tahun, membuat kami berdua frustasi," suara Papa menjadi serak. Frustrasi, frustrated. Papa selalu salah menyebutkannya.
Aku masih berusaha mencerna apa yang Papa jejalkan ke otakku lewat mulutnya. Jadi ... dia Nel? Kami semua ada di pesawat? Omong kosong apa yang sedang Papa bicarakan?
"Kalian berdua kembar identik."
Aku menatap kedua mata Papa, memastikan.
"Kamu tahu, DNA dari anak kembar identik itu nyaris seratus persen sama. Pernah baca?"
Aku menggeleng.
Papa melanjutkan, "Leonora."
"L-Leonora?"
Papa mengangguk. "Nama kamu."
Rahangku terjatuh tak percaya, dan aku merasakan hantaman keras di dadaku yang membuat mataku basah seketika. Aku mengusap air mata ini dengan kasar sebelum mereka jatuh mengaliri wajahku. Nama kamu. Kalau aku sedang tidak berhalusinasi, dan tentu saja tidak, maka jelas sudah bahwa akulah Nel Palsu itu dan dialah yang asli. Rasanya sangat buruk ketika aku terus-terusan ngotot bahwa akulah Nel, akulah Daniella, tetapi kenyataannya bukan. Aku malu. Aku malu pada diriku sendiri, dan aku marah pada mereka. Karena ternyata selama ini aku tidak hidup sebagai diriku sendiri. Selama ini aku hanya memerankan orang lain demi kebahagian mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Must Die [On Going]
Mystery / Thriller[Dark Fiction] Nel bertemu dengan orang yang persis sama seperti dirinya, nama dan begitu juga fisiknya. Lalu kehidupannya yang sepi dan tenang berubah gelap dan brutal. Karena ada sesuatu yang amat rahasia telah terjadi di masa lalunya. Nel tidak t...