🔒05

312 119 15
                                    


SATU HARI.

Dua hari.

Tiga hari.

Pada akhirnya aku tidak bisa terus mengurung diri. Aku keluar untuk makan dan sesekali menonton televisi walau sebenarnya, pikiranku sama sekali tidak fokus di sana.

"Sebentar lagi udah masuk tahun ajaran baru. Kamu nggak apa-apa kan pindah ke sekolah yang dekat rumah?"

Aku mengalihkan pandangan dari layar televisi ke Mama yang sedang duduk membaca majalah. Nel di karpet, bersandar di sofa yang kududuki sambil memegang remote control. Papa masih di tempat kerja.

"Nggak apa-apa, Ma. Yang penting aku tetep di sini."

Aku berdecih. Meringis dalam hati. Dan kalau boleh dibilang, aku iri, sebab Nel bisa memiliki kehidupan yang normal. Bersekolah, pergi ke luar, punya teman, dan yang terpenting adalah : Menjadi Daniella.

"Mau sekolah negeri atau swasta?" Mama menutup majalah dan melirik Nel dengan penuh perhatian.

Aku semakin panas.

"Menurut Mama? Aku ikut aja."

Mama terkekeh. "Nanti mama cari-cari tau dulu sekolah yang paling bagus, ya."

Nel mengangguk, kembali fokus ke televisi.

"Leonora--"

Setiap kali Mama memanggilku dengan nama itu, aku merasa dadaku disayat-sayat. Sebab, aku merasa sudah tidak menjadi anak mereka lagi. Entahlah, tapi kesannya Leonora adalah orang lain bagi mereka, dan sungguh, itu menyakitkan.

"--kamu pernah kepikiran buat sekolah?"

"Nggak."

Bohong.

Mama merapatkan kedua bibirnya. Akhir-akhir ini sikapku selalu ketus dan dingin. Jangan salahkan aku. Cobalah berada di posisiku dan kalian akan mengerti.

"Ra, jangan begitu terus, dong."

Aku tersenyum miring, memandangi layar televisi dengan tatapan kosong. Tentu saja, Ma, tentu saja aku ingin sekolah. Aku ingin seperti orang lain, dan aku ingin mendengarmu memanggilku 'Nel' lagi. Tapi kata Mama, kalau aku keluar, aku habis, kan? Meski aku tidak tahu maksud kalian apa, dan serius, aku ingin sekali menanyakan hal ini sebab semua ini terasa janggal.

Mama mendekat, duduk di sampingku. Tangannya merangkul bahuku. Semuanya masih terasa sama. Sentuhannya, kehangatannya, bau parfum Dolce & Gabbana ... dia masih tetap Mama.

"Kamu mau apa? Ayo, bilang, nanti mama suruh Papa beliin."

"Nggak mau apa-apa." Aku menurunkan tangan Mama dari pundakku. Walau sebenarnya, aku ingin tangan itu terus berada di sana, merangkulku, mendekapku dalam kehangatan Mama seperti malam-malam ke belakang sebelum Nel datang.

"Terus apa? Jangan cemberut gitu, dong!" Mama mencubit pipiku. Seketika aku ingin memeluknya sehingga aku bisa memamerkan kedekatanku dengan Mama agar Nel cemburu, tapi gengsiku menahan itu.

Aku masih diam. Mama terus memandangiku. Aku terus diam. Sebenarnya, sejak kali pertama melihat tulisan di kaca kamar mandi, aku terus kepikiran untuk menanyakan hal itu pada Mama. Tapi, entah kenapa aku takut. Walaupun begitu, bukanlah hal yang benar untuk terus memendam ini semua. Karena, sesuatu bisa jadi sedang membahayakanku. Oke, mungkin aku terkesan berlebihan. Tapi, itu tetap saja mungkin, kan, terlepas dari seberapa kecil kemungkinan itu? Seperti di film-film, para penjahat berdarah dingin biasanya menakut-nakuti korbannya terlebih dahulu. Karena, keinginan terbesar mereka bukanlah menghabisi si korban, bukan melihat darah dan luka-luka di tubuh si korban, melainkan ekspresi takut. Itulah. Ketakutan itu yang membuat mereka puas. Ketakutan di wajah korban itulah yang mereka cari.

One Must Die [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang