🔒10

295 103 32
                                    

Seminggu kemudian ...

.

.

.

Srek

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Srek

Srek

Srek

Derap langkah berat dan lelah menjejak tanah dan dedaunan basah. Langkah orang bertubuh ramping itu. Baju basah, topeng anonim basah, topi basah, dan jaket merah basah. Hujan mengguyur sejak tiga jam yang lalu. Dia menengadah merasakan tetesan-tetesan air hujan dingin menembus lubang topeng, mengaliri wajahnya yang gerah. Tumpahan air dari awan gelap itu menjadi tirai-tirai penghalang yang membutakan penglihatan. Cahaya senter di kepala orang itu tidak serta merta menjernihkan apa yang merasuki netranya. Tapi, ini lebih mendingan dibandingkan mengandalkan cahaya rembulan yang bahkan sangat tidak berguna, terhalang awan-awan hitam yang menakutkan. Dia meneruskan langkah, menapaki batu dan gelondongan kayu.

Sreaak.

"Whoa!"
Nyaris terpeleset. Beruntung tangannya refleks berpegangan pada pohon sekitar. Pohon apa itu, ia tak tahu. Ia bukan makhluk hutan. Dan sungguh, bisa dibilang ini adalah kali pertamanya mengarungi hutan di malam hari saat badai petir seperti ini. Saat langit berkedap-kedip terang dan gelap. Saat gemuruh meraung-raung setelahnya. Hal yang ada di kepalanya ketika gelegar petir muncul ada dua. Pertama, ia membayangkan udara yang memuai cepat setelah terkena panas kilat itu. Kedua, ia bertanya-tanya akankah suara itu mampu menyamarkan jeritan orang di ransel-kalau-kalau dia menjerit?

"Hei!" Sudut mata orang bertopeng anonim itu mengarah pada ransel di punggungnya.

Tak ada suara dari sana. Tentu saja. Leonora di dalam ransel tengah bergelung lemah. Lumpuh oleh biusan chlorophyll yang diberikan secara berkala, menghilangkan kesadarannya hampir tujuh hari sepenuhnya. Kakinya terlipat. Kepala terkulai lemas, dagu dan bibir menyentuh lutut. Kedua tangan terikat melingkari kaki, mengunci tubuhnya sendiri.

Leonora merasakan dirinya berguncang-guncang ketika kedua kelopak matanya terbuka perlahan, ketika ia berusaha meraih kesadarannya dengan susah payah. Ia mengerjapkan mata. Gelap. Mengerjapkannya lagi. Gelap dan sempit. Napasnya tiba-tiba berat dan cepat. Ada suara hujan. Ada suara petir. Ada suara langkah seseorang. Ini tidak benar. Leonora tahu. Ia tidak baik-baik saja.

Bekas luka tembak di betis belakangnya tertekan dan ia meringis kesakitan, meski otaknya tidak bisa mengingat luka apa yang ada di sana akibat pengaruh bius yang membuatnya linglung.

Ia mencoba melepaskan tali yang membuat pergelangan tangannya perih. Tidak bisa. Pergerakannya jauh lebih lemah dari yang ia niatkan. Dengan kepala pening ia memukul-mukul kain cordura. Tapi percuma. Upayanya tidaklah lain hanya seperti sentuhan saja. Ia menghentakkan kepala ke belakang, merasakan sesuatu yang keras. Punggung. Guncangan tiba-tiba berhenti. Orang yang membawanya pasti menyadari.

One Must Die [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang