🔒07

300 105 32
                                    


SAAT SESEORANG KETAKUTAN, amigdala akan mengaktifkan sistem saraf dan mengirimkan sinyal ke bagian otak lain untuk lebih waspada. Area otak ini termasuk hippocampus dan prefrontal cortex yang saling bekerja sama untuk memulai respons fight or flight. Di tahap inilah aku berada. Dengan jantung berdebar gila-gilaan dan tangan licin oleh keringat dingin serta peluh di dahi yang mengucur ke punggung, aku menimbang-nimbang apakah akan melawan (fight) atau kabur (flight).

Di momen seperti ini, tubuh melepaskan glukosa ke darah guna memberi energi ekstra. Jiwa pengecutku memilih menggunakan energi itu untuk kabur. Jadi, secepat kilat aku bangkit dan mengambil langkah cepat ke pintu, lari di lorong sambil terengah-engah dan membuka pintu kamar Nel dengan buru-buru, lalu masuk dan membantingnya hingga tertutup rapat. Tempat inilah yang pertama kali kupikirkan.

"Kenapa?" Nel yang sedang tidur segera bangun.

Aku menurunkan tangan dari handle pintu. Masih berkeringat, menatap kosong lantai parket kayu di bawah. Tadi, aku berbalik sedemikian rupa agar tidak melihat orang di belakangku, tetapi sudut mataku menangkap bayangannya. Tinggi, hitam, dan buram. Sangat sangat tidak jelas.

"Ra?"

Aku tidak menjawab, malah merayap ke kasur, melingkarkan selimut ke punggungku dan diam memeluk lutut.

"Kenapa sih?"

"Gue," sesaat aku menimbang-nimbang, haruskah aku menceritakan ini pada Nel? "Gue mimpi buruk." Pada akhirnya aku berdusta.

Nel meletakkan tangannya di pundakku. "Lo boleh nginep di sini kalo takut."

Aku menatapnya.

"Udah lo tidur aja." Orang itu turun dari kasur dan mengambil selimut di lemari.

"Nel?"

"Kenapa?" Dia menarik selimut dari kantongnya, lalu kembali ke sampingku.

"Apa ..., apa lo bisa gue percaya?"

Nel diam sebentar. "Lo kenapa sih?" Dia memandangku seolah-olah aku ini aneh.

Aku tersenyum tipis. "Gue sebenarnya-"

"Lo ngalamin kejadian buruk lagi?" Kali ini Nel berbisik.

"Gue mimpi." Sekali lagi aku berbohong. "Gue mimpi kalo di rumah ini ternyata ada orang asing." Ini bukan mimpi, tapi nyata. "Di mimpi gue, orang itu ngasih tau kalo gue nggak boleh bilang ke siapa pun termasuk orang tua, karena, katanya, mereka nggak bisa dipercaya."

Dahi Nel mengerut. "Ya udah lah cuma mimpi, kan?"

"Tapi berasa nyata, Nel."

Nel memasukkan kedua kakinya ke bawah selimut, lalu berbaring di sampingku yang masih terduduk gemetar.

"Di mimpi itu, gue malah bilang ke Papa kalo ada seseorang di rumah," suaraku teramat sangat pelan, khawatir ada orang lain yang mendengar.

Nel memiringkan tubuhnya padaku, sikunya bertumpu di bantal dan tangannya menyangga kepala. "Bagus lah," katanya simpel. "Emang seharusnya bilang ke Papa."

"Beneran?"

Nel mengangguk dan menarik lenganku agar aku segera tidur. "Udah jangan dipikirin, tidur aja."

Lalu, setelah tertegun beberapa saat, mendadak aku terisak. Mendadak aku menjadi lemah. Ketakutan adalah emosi dasar manusia yang pada suatu saat tertentu dapat melumpuhkan. Itu benar. Aku sedang dilumpuhkan oleh ketakutanku sendiri. Dengan segala kebodohan, terisak di kamar orang, sementara seseorang tengah berada di kamarku. Bodoh, bodoh, bodoh. Aku ingin sekali mengatakan ini, melapor ke Mama dan Papa. Tapi katanya, orang tuaku tidak bisa dipercaya. Katanya, mereka menyembunyikan sesuatu. Aku benar-benar bingung.

One Must Die [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang