Part ini pendek:(
Boleh dibaca sekarang atau nunggu part selanjutnya di-publish biar agak enakan kalau bacanya rada panjang.
Tergantung selera kalian juga sih.Pokoknya, selamat membaca! 😊
.
"DOK!""DOKTER!"
Suara gemetar dan panik memenuhi ruang ICU tempat Nel berada. Yuda yang kehilangan kontrol atas kestabilan dirinya segera menyerobok keluar dari ruangan setelah menekan bel darurat di samping ranjang pasien ketika monitor berbunyi beep cepat, menunjukkan detak jantung yang tidak stabil.
Dokter datang bersama dua orang suster, nyaris bertubrukan dengan Yuda tatkala lelaki itu baru saja keluar.
"Dok, tolong dia dok! Selamatkan dia!"
Dokter itu mengangguk, setengah tak menggubris karena mesti buru-buru masuk. Salah satu suster meminta Yuda untuk menunggu di luar. Setengah frustrasi lelaki itu menjambak rambutnya, sambil duduk di kursi. Ia berupaya menghibur dirinya dengan berbagai pepatah yang ia ciptakan sendiri. Bee pasti baik-baik saja. Tenang. Tenang, Yuda. Dokter akan menanganinya. Lalu serpihan-serpihan tajam dari ceruk sinis dalam pemikirannya membantah, mendatangkan fakta-fakta yang menekan mentalnya tanpa belas kasih, bahwa setahun adalah waktu yang cukup untuk menghentikan harapan-harapan bodoh yang selama ini bergumul di otaknya. Setahun adalah waktu yang kelamaan untuk tenaga medis bersabar menangani pasien yang tidak bangun-bangun.
"Suster, siapkan defibrillator!"
Angka detak jantung di monitor berubah-ubah begitu labilnya, ditingkahi bunyi bip janggal yang kesan kedaruratannya amat menakutkan. Dokter menggenggam paddle yang telah dibubuhi gel sementara energi di defibrillator telah diatur sedemikian rupa, hingga keluarlah bunyi dengung yang menjengkelkan. Segera setelah itu kedua paddle ditempelkan pada posisi apeks dan sternum, memberikan kejutan listrik untuk memaksa jantung Nel agar berdetak normal. Secepat kilat mata tajam dokter itu menatap angka di layar. Masih belum stabil, malahan denyut jantung semakin melemah. Sekali lagi defribillasi dilakukan dalam kepanikan berselubung harap-harap cemas.
.
Aku melihat diriku masih dalam bentuk bahan-bahan tak berupa.
Gumpalan daging merah lembap di atas tanah kering nan gersang yang menebarkan debu-debu halus di bawah panggangan matahari gulita yang anehnya ... membutakan.
Cairan merah gelap yang kental di cekungan tanah, menguapkan bau amis tajamnya yang kian mengudara.
Buntalan urat-urat berwarna menjijikan. Sebagian ungu sebagian hijau pucat. Kesemuanya tertumpuk begitu saja, dengan sebagian darinya terburai, dilapisi debu-debu yang terbang dan hinggap.
Aku mendekat. Menunggu. Melayangkan pandang ke segala penjuru. Tapi yang kudapati hanyalah hamparan tanah berpasir yang tak berujung, menggaris di sepanjang batas cakrawala yang juga ... tak berpengakhiran.
Aku terisak. Melihat diriku teronggok, terbiarkan. Kedua bola mataku tampak sebagai bola mati yang janggal, satu di atas buntalan urat, satu tercemplung ke genangan darah.
Semua ini normal, ketika dirimu menyaksikan penciptaan dirimu. Tak ada keanehan dalam pemahamanku. Namun ke mana tangan-tangan yang akan menciptakan? Mengapa mereka tidak ada? Mengapa hanya aku sendirian, yang tak menjejak, tak tampak.
Aku berjongkok. Memeluk lututku yang selembut angin. Mengusap air mataku yang seringan hampa. Menatap tangan dan kakiku yang tak bertulang, tak berdanging, tak berkulit. Menekuri diriku yang masih berbentuk ketiadaan.
Lalu kudengar derap-derap langkah banyak orang dari belakang. Aku berbalik. Mama, Papa, dan Daniella sedang berlari-larian sambil tertawa. Mereka mendekat lalu menjauh, sebab Daniella yang mereka kejar berganti arah.
"MAMA! PAPA!" Aku berteriak. "MAAA! PAAA!" Kali ini kulepaskan suaraku pada volume paling maksimal.
Tapi mereka tidak menghiraukan, seakan tidak mendengar suaraku sama sekali. Lalu aku berlari mendekati mereka. Namun, tak peduli seberapa lama dan seberapa cepat aku berlari, mereka tetap berada di jarak yang sama. Tidak makin dekat, tidak pula makin jauh.
Aku menangis, meraung-raung dengan suara hewaniah, kehilangan karakter kemanusiaanku saking gilanya aku meminta tolong agar mereka mau membantu membentuk jasadku. Tapi sia-sia saja. Aku tak terdengar. Atau barangkali, itu salah. Barangkali ini karena, aku belum ada. Lalu pelan-pelan mereka bertiga mengabur dan lenyap begitu saja terhisap udara.
Tangisku tumpah ruah tanpa hambatan. Makin parah hingga aku lelah karena senggukan yang teramat intens. Lalu dalam tangisku, aku tertawa. Pilu yang berubah menjadi histeria adalah suatu keniscayaan ketika seseorang kehilangan kewarasan. Dan itulah yang terjadi padaku. Aku tidak waras. Lantaran menyaksikan ketiga tumpuan harapanku tak menyadari keberadaanku, dan mereka lenyap tak bersisa, entah ke mana. Juga lantaran jasadku masih belum mau ada yang menyentuh. Lantas aku mulai kepikiran-dalam ketidakmungkinan yang kuupayakan agar menjadi mungkin-untuk membentuk jasadku sendiri.
Kuambil segumpal daging yang benyek, hangat, dan basah. Kubentuk hingga menyerupai kaki, sambil menangis. Kubuat rongga di tengahnya. Lalu kusadari bahwa aku tidak bisa. Bahwa aku tidak tahu caranya, dan bahwa ada yang kurang di sini. Bagian putih gading yang keras, yang akan menopang jasadku supaya bisa tegak dan kokoh, ternyata tidak ada.
Aku menangis lagi. Dengan modal nekat menjejalkan gulungan urat-urat ke dalam rongga kaki yang kubuat, menyiduk darah dan memasukannya ke rongga yang sama. Lalu tangisku semakin parah. Bukan begini caranya. Dan aku putus asa.
.
Bunyi beep panjang. Bahu-bahu yang turun. Mata-mata yang sayu dan pasrah saling menatap sebelum akhirnya jatuh, menunduk dalam kungkungan rasa bersalah.
"Pasien tidak tertolong." Tiga kata dari mulut dokter itu teraduk-aduk hawa kematian yang merebak mengisi ruangan. Tangan lemasnya menyimpan paddle ke tempat semula. Lalu tanpa komando ia keluar dari ruangan dengan muka dipenuhi duka.
Sementara, suster yang satu diam tenggelam dalam kekosongan, yang satu menatap wajah pasien yang setahun ia rawat. Yang setahun dinanti-nantikan agar bangun. Tapi saat itu tak kunjung datang, dan jelas tak akan pernah datang. Wajah gadis yang pucat itu kini kelihatan lebih tenang. Wajah yang masih tetap cantik. Wajah yang sudah tidak hidup lagi.
Mungkin ini lebih baik. Pergi dengan sendirinya karena keputusasaan masih lebih mendingan daripada pergi karena keterpaksaan dari luar. Pergi secara alami, bukan karena dilepasnya alat-alat penyokong yang membuatnya bertahan setahun belakangan ini.
Setidaknya ini membuat tenaga medis tetap manusiawi.
Suster itu dengan berat hati, menarik kain selimut tipis, menutupi wajah Nel sambil membatin, Semoga kamu tenang di alam sana.[] 06/08/21-04.07
.
.
.
a/n:
Hai, gimana part ini menurut kalian?Semkga suka, ya!
Juga semoga nggak masalah karena part-nya cuma 900 kata. Yah ... daripada nggak update sama sekali, wkwk.
Sampai bertemu di part selanjutnya, aku usahain secepatnya !
KAMU SEDANG MEMBACA
One Must Die [On Going]
Misterio / Suspenso[Dark Fiction] Nel bertemu dengan orang yang persis sama seperti dirinya, nama dan begitu juga fisiknya. Lalu kehidupannya yang sepi dan tenang berubah gelap dan brutal. Karena ada sesuatu yang amat rahasia telah terjadi di masa lalunya. Nel tidak t...