🔒24

141 57 15
                                    


AKU TERBANGUN gara-gara bau darah dan kegelapan beraroma bensin menghimpitku. Ketika kedua mataku terbuka, barulah aku sadar kalau semua itu cuma mimpi. Aku menatap sekeliling. Cahaya matahari di mana-mana. Segalanya serba terang. Dari jendela, matahari pagi menyembul di balik gedung-gedung perkotaan. Pagi ini cerah dan panas. Leher dan punggungku basah oleh keringat. Kutendang selimut hingga kedua kakiku bisa merasakan embusan sejuk dari pendingin ruangan. Tanganku meraih air minum di nakas dan menenggaknya hingga tandas.

Sejenak aku diam, melamun sembari menyimak bunyi penyedot debu di lorong. Jelas Yuda sedang bersih-bersih. Lelaki itu sungguh rajin. Tetangga-tetangga juga. Aku bisa mengetahuinya dari suara mesin pemotong rumput dan suara para pembantu dengan anak-anak dari halaman rumah mereka. Yang benar saja, orang-orang sudah benar-benar hidup ketika aku sedang ngorok tak sadarkan diri.

Pelan-pelan aku menurunkan kaki ke lantai, melangkah menuju kamar mandi. Sikat gigi lenyap entah ke mana. Jadi aku menyalakan kran, menyiduk airnya dan berkumur-kumur sebersih mungkin, lalu cuci muka tanpa sabun karena benda itu juga entah ke mana. Ingatanku belum sepenuhnya pulih, makanya aku masih sering lupa akan banyak hal. Kadangkala ketika habis mandi aku lupa apakah aku mandi air panas atau dingin, apakah aku keramas pakai sampo atau cuma membasahi rambut.

Aku menatap kedua mataku di cermin dalam-dalam. Pantulan diriku juga menatapku sedalam yang kulakukan. Dia tampak begitu hidup. Tampak nyata seakan ia terpisah dariku, seakan dia bukanlah aku.

Abeera?

Daniella?

Aku tersenyum.

"Siapa kamu sebenernya?"

Rasanya gila bicara sendiri di depan cermin dengan tatapan kosong seperti ini. Tapi ini tidak lebih gila daripada ingatan tentang suara deru air, tembakan, dan bau darah yang sesekali berkelebat singkat di kepalaku. Sebagian muncul dalam mimpi tatkala aku tidur, seperti tadi. Kalau semua itu tidak ada artinya, mustahil hal-hal sialan itu terus muncul.

"Bee?"

Aku menutup kran, melepaskan pandanganku dari diriku di cermin dan dengan cepat mengeringkan wajahku dengan handuk.

"Kenapa?" Aku keluar dengan muka masam, meski tahu Yuda akan menawariku sarapan. Niat yang baik, memang. Tapi aku bertanya dengan nada dingin menyebalkan.

"Cuma ada roti di bawah. Mau makan itu atau pesen dari luar?"

"Terserah." Aku melemparkan tubuhku di kasur, bergelung di bawah selimut.

"Masih ngantuk?"

"Hhm," gumamku seraya memejamkan mata. Kasur dan selimut ini terlalu nyaman. Aku tidak bisa meninggalkan mereka untuk sarapan secepat ini.

"Kakak pesenin makanan aja ya. Kalo mau tidur, tidur aja. Nanti kakak bangunin."

"Roti aja."

"Roti?"

"Hhm." Aku menjawab setengah sadar. "Dipanggang. Stroberi, jangan cokelat."

Aku tidak tahu Yuda bilang apa. Yang jelas seperti tanpa jeda, tiba-tiba tangannya menepuk-nepuk bahuku dan aroma manis roti panggang menggelitik hidungku hingga aku terbangun.

"Makan!" Yuda menunjuk segelas susu cokelat dan tiga potong roti di nakas.

"Cepet banget." Aku meneguk susu itu sekadarnya, lalu mengunyah roti yang masih panas tersebut. Renyah, rasa asin dan manis bersamaan pecah di dalam mulutku.

Sambil mengunyah aku memperhatikan Yuda yang juga memperhatikanku. Dia sudah rapi dengan setelan santainya.

"Enak?"

One Must Die [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang