🔒09

274 96 38
                                    


AKU MENGOMPOL DI tong sampah tatkala lelaki bermasker itu menodongkan pistol ke mukaku. Aku merintih, menatap selongsong yang dapat melepaskan peluru kapan saja. Mataku terus mengarah pada jemarinya di pelatuk. Aku gemetaran, berharap mati-matian agar dia tidak menariknya.

"Berdiri!"

Aku berdiri ketakutan, celana tidurku basah, bau urin yang menyeruak sudah tak kupikirkan lagi, dan bahkan, perasaan malu minggat entah ke mana. Kedua tanganku mengepal, tetapi yang satunya, menggenggam serpihan kaca yang barusan saat aku duduk, tak sengaja kusentuh, seolah menawarkan diri untuk membantu.

Kini tubuhku sudah tegak sempurna. Tinggiku hanya sampai sedada lelaki itu. Pistol terus tertodong. Aku memusatkan pandanganku ke lengan lelaki itu, dan--

SREEEET!

--kontan kugores lengannya dengan kaca dan dia meringis hingga pistolnya terjatuh. Kain jaketnya terbelah sempurna menampakkan kulitnya yang robek terkena goresan dalam. Darah mengucur membentuk garis kental gelap di kulit dan kemudian menetes-netes ke tanah. Secepat kilat aku keluar dari tong dan memungut pistol lelaki itu selagi ia kelabakan, menekan kuat lengannya. Aku berlari dan terus berlari hingga ke gerbang. Kali ini aku akan keluar. Tekadku sudah bulat. Persetan dengan peringatan Papa dan Mama yang tak jelas alasannya itu. Ketika aku sampai di gerbang, perasaan curiga dan aneh menggelayutiku. Aku tidak dikejar!

Kutolehkan kepalaku ke belakang. Dua orang lelaki di depan pintu utama, tanpa masker, tengah memandangiku sambil tertawa-tawa. Lelaki bermasker di dekat tong sampah berjalan ke dalam sembari menekan lengannya kuat-kuat, mengobrak-abrik kotak P3K di ambang pintu. Satu lelaki lagi di balik jendela, menyilangkan tangan seraya tersenyum. Mereka menontonku.

Aku membidikkan pistol ke kepala mereka satu-satu, sambil memikirkan keadaan keluargaku. Tapi mereka malah bersorak dan bertepuk tangan. Keringat dingin membanjir keluar dari pori-pori telapak tanganku, membuat peganganku licin hingga nyaris pistol ini jatuh kalau aku tidak menggenggamnya lebih kuat. Kepalaku pening. Pikiranku yang bimbang berusaha meyakinkan diri untuk menembak mereka semua. Tapi, nuraniku terus menolak. Aku tidak ingin menjadi pembunuh, sekalipun terpaksa. Aku harus selamat tanpa membunuh. Tapi, bisakah itu? Bukankah pilihan terbaik adalah menembak mereka saja, karena tidak menembak berarti ditembak? Bisa saja mereka merebut pistol ini lagi dariku, kan?

Namun, masalahnya, tingkah cengar-cengir mereka membuatku ragu bahwa pistol ini memiliki peluru. Atau apakah mereka cuma meremehkan kemampuanku, menganggapku tak becus menembak tepat sasaran? Aku tidak tahu. Tapi, kubidik lelaki yang tangannya kugores. Dia melirikku sekilas, lalu nyengir sambil membelit lengannya dengan kasa. Tanpa melihatku dia berteriak, "SHOOT!"

"SHOOT!" Yang lainnya menyusul.

"AYO TEMBAK!"

Mataku memanas.

"AYO KALO KAMU MERASA BAKAL TEPAT SASARAN!" Kalimat itu disusul tawa menggelegar yang mengundang gelak rekan-rekannya.

Emosiku membara. Dengan cepat kualihkan bidikan ke lelaki yang barusan bicara, lelaki di depan pintu utama. Kubidik kepalanya. Tanganku gemetar hebat, bidikanku goyah ke sana sini. Kueratkan genggamanku dan kumantapkan niatku.

"AYO!"

Aku menutup mata kiri. Bidikanku tepat di kepalanya, lalu kututup mata kanan, bidikanku melenceng jauh ke kanan. Sial! Mata yang mana yang harus kupercayai? Apakah salah satu mata bisa mendominasi seperti halnya tangan? Sial, aku begitu bodoh urusan ini. Kubuka kedua mataku. Kombinasi. Entah benar atau salah, yang jelas aku kembali membidik. Kali ini ke jantung, lalu ke kepala, bidikan mana yang kiranya mematikan?

Tawa mereka kembali buncah.

Aku tak tahan lagi. Kuarahkan pistol ke kepala lelaki yang sama, dan kutarik pelatuk sambil memejam takut. Terasa enteng.

One Must Die [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang