🔒25

173 61 8
                                    


AKU TIDAK PERNAH menebak Danny akan datang ke rumahku sekarang, di jam 11 siang ketika seharusnya ia masih bekerja. Bukannya aku hafal jadwal dia, tapi aku pernah memesan makanan di jam segini dan dia datang mengantar.

"Nggak kerja?" Aku menyelidiki dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bukan kemeja kurir bertuliskan PROVA, tapi kaus putih basic dibalut denim hitam yang dilipat hingga tiga perempat lengan dan celana chinos cokelat muda keabuan. Di ujungnya terpasang sneakers putih mirip Adidas yang Yuda pakai. Tapi meski ia berpakaian serapi ini, mukanya kusut dan lesu seperti baru bangun tidur. Aku juga tidak menjumpai motornya. Jangan bilang itu motor Prova dan dia ke sini jalan kaki.

"Aku izin libur," kata dia lalu menguap dan mengacak-acak rambut belakangnya. "Semaleman naik bis keliling-keliling nggak tau ke mana. Terus paginya turun di halte depan," dia menunjuk ke arah gerbang kompleks, "langsung ke sini. Kamu mau ke mana?"

Aku tidak mau lama-lama berbasa-basi, jadi aku langsung menyasar topik utama. "Mana cerita kamu? Buktiin kalo aku beneran Daniella."

Danny mengangguk. "Sambil makan? Aku laper."

.

Kami berdua mampir ke salah satu rumah makan tradisional, sebab tempat itulah yang terdekat untuk ditempuh dengan jalan kaki, tepat di mulut gerbang kompleks.

Danny memesan nasi bakar dan sepotong dada ayam goreng. Ia makan dengan lahap, berkali-kali menyendok sambal ke piring dengan muka repot karena kepedasan. Cowok itu makan apa adanya tanpa berusaha jual tampang di depan cewek asing sepertiku. Tunggu, apa aku benar-benar asing buatnya?

Aku menambahkan pertanyaan itu di catatan ponselku. Hubungan aku dengan Danny?????? Tanda tanya banyak. Sedari tadi aku tidak ikut makan. Cuma pesan jus mangga sebagai formalitas, lalu mengetik daftar pertanyaan untuk orang didepanku. Aku sibuk memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini, hingga aku baru sadar kalau Danny menghilang, meninggalkan piring dengan makanan yang sudah ludes tak bersisa.

"Nyariin?" Orang itu berjalan mendekat dari arah wastafel. Habis mencuci tangan, ternyata. Heran, kenapa cowok bisa makan sangat cepat. Yuda juga begitu. "Abisin minumannya abis itu pergi."

"Nggak ngobrol di sini?" Nadaku lebih ke menuntut daripada bertanya.

Danny menggeleng, masih berdiri di samping kursi. Dengan enggan aku pun bangkit, menyedot jus mangga untuk yang terakhir kali lalu berjalan cepat ke parkiran.

"Siapa nama lengkap aku?"

"Daniella Evandy."

"Panggilan?"

"Nel."

"Lalu Abeera?"

"Bohong."

Bohong, katanya. Aku sepakat. Tapi aku tidak percaya kalau aku Daniella.

"Kamu yakin, Dan?"

"Iya."

Kami berjalan di pinggiran lapangan sepak bola. Suasananya amat terik dan berangin. Aku berkali-kali mesti menyelipkan rambutku ke belakang telinga karena terus berkibar-kibar ke depan muka. Ketika kami berbelok, itu tidak terjadi lagi. Angin datang tepat dari depan ke mukaku, menghalau rambutku ke belakang. Aku menikmatinya. Sangat menikmati dunia cerah penuh warna dan sejuk ini. Entah kenapa ini sangat berkesan dan menyenangkan, seakan-akan aku belum pernah merasakan ini sebelumnya.

One Must Die [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang