PRANGG!!
Aku mengempaskan piring berisi menu makan siangku dari nampan yang dibawa Yuda. Dia terperanjat. Aku tahu, sebagai kakak, dia pasti tidak terima diperlakukan seperti itu oleh adiknya. Dia menjatuhkan rahangnya melihat pecahan piring dan makanan yang berhamburan di lantai kamarku.
"Bee? Nggak salah, kamu?" Yuda melotot.
"Makanannya pedas."
"Itu cuma sedikit, Bee. Nggak sepantasnya kamu bersikap sekasar itu! Kamu bisa bilang biar kakak ambilin yang lain."
Aku memutar mata dengan malas, lalu melirik Yuda sekilas. Jelas dia sedang berusaha menahan emosi. "Kalo mau marah, marah aja," kataku.
Yuda menghela napas, berdecak, dan dengan terpaksa membereskan semuanya, sementara aku berbaring di kasur sambil menonton televisi dan bersandar ke headboard. Dia tidak mungkin menyuruhku untuk membereskan kekacauan yang kubuat karena dia tahu bahwa aku belum bisa berjalan normal, meski sudah lebih baik dari seminggu yang lalu ketika aku baru keluar dari rumah sakit. Dua kali fisioterapi lumayan membantu pemulihan kaki dan punggungku yang kemarin-kemarin seringkali sakit. Beruntung aku tidak divonis lumpuh.
Sudut mataku sesekali melirik tajam pada Yuda di lantai. Meski perilaku-perilakunya baik terhadapku, entah kenapa aku tidak suka padanya. Masalahnya adalah, kata dia dan dokter, aku koma hampir setahun. Lalu aku tidak mengingat apa pun ketika sadar, termasuk siapa Yuda dan siapa aku. Apa yang kuketahui saat ini semata-mata berdasarkan cerita-cerita Yuda yang bisa jadi dipenuhi dusta.
Katanya, aku tenggelam di sungai saat kami berkemah dan beruntung dia sempat menolongku. Tapi, mengapa aku merasa bahwa dialah justru yang menenggelamkanku?
"Aku lapar."
Yuda menatapku. "Habis ini kakak bawakan--"
"Aku nggak suka masakan kamu," ungkapku, kali ini memandanginya dengan lelah. "Lebih enak nahan lapar daripada nahan rasa masakan kamu."
"Kakak bisa pesan makanan dari luar."
Aku tidak mengatakan apa-apa sampai dia selesai membersihkan lantai dan kembali lagi seraya menyodorkan ponselnya. Dia menyuruhku untuk memilih makanan yang ingin kupesan. Tapi aku bahkan tidak percaya kalau makanan-makanan itu kenyataannya akan sama dengan yang ada di gambar. Cuma, ya sudah lah. Daripada makan masakan Yuda. Nggak enak.
"Yang mana makanan kesukaan aku?"
Yuda terdiam, lalu dia berdeham. "Kakak nggak tau."
Aku menatapnya sangsi. "Oh? Nggak tau sama sekali?"
"Kita nggak terlalu deket."
Salah satu sudut bibirku terangkat. "Oke. Kalau gitu kira-kira yang mana yang aku suka?"
"Mungkin ini atau ini" Yuda menunjuk dua menu termahal. "Kamu boleh pesan dua atau lebih kalau nggak suka salah satunya."
Aku memesan tiga makanan. Tapi menjengkelkannya pesananku tidak datang-datang padahal aku sudah menunggunya lebih dari 40 menit. Kalau aku sedang superkelaparan, pastilah keburu mati.
Menunggu lama-lama di atas kasur ternyata sangat membosankan. Belum lagi rasanya punggungku terasa panas gara-gara kelamaan berbaring. Aku akhirnya menarik kursi roda di samping ranjang, berdiri dengan hati-hati dan duduk di sana. Kata dokter dan terapisku, aku akan bisa berjalan normal sekitar semingguan lagi. Mudah-mudahan saja itu benar. Aku sama sekali tidak mau lumpuh.
"YUDAAAA!" Teriakanku yang kencang dipantulkan kembali oleh dinding-dinding kamar hingga membuat telingaku kaget. "YUDAAA TOLONGIN!"
Dari kejauhan Yuda menyahut. Perlahan-lahan langkah kakinya kedengaran makin jelas. Ia datang dengan muka panik sambil membuka pintu lebar-lebar.
"Kenapa?"
"Aku pengen keluar. Dorongin dong! Cape ini kursinya masih manual."
Orang itu menghela napas. Ia beranjak ke belakangku dan mendorong kursi roda ini menuju taman depan rumah. Ketika tiba di teras, ia duduk di kursi beranda, di sampingku. Aku mengamati jalanan di depan rumah. Menunggu pesananku datang karena aku sudah sangat sangat lapar.
"Kalo pesen emang selama ini, ya?" tanyaku ketus. "Kok nggak dateng-dateng?"
"Bentar lagi paling."
"Jangan-jangan kurirnya kecelakaan terus mampus."
Yuda menatapku tak percaya. "Jangan asal ngomong, Bee."
Aku menggerutu.
"Atau mau makan di luar aja?"
"Nggak usah!" sergahku. "Ntar malah dilihatin gara-gara nggak bisa jalan."
Tepat setelah aku menyelesaikan kalimat barusan, sebuah motor berhenti di depan gerbang. Pengemudinya turun menenteng sesuatu dengan masih mengenakan helm.
"Tuh udah dateng!" Yuda langsung bangkit dan menghampiri kurir itu.
Melihatnya mengambil pesanan membuat kesalku sirna seluruhnya. Sebentar lagi makan! Ketika si kurir sudah menerima uang bayaran, dia sempat menatapku sekilas sebelum akhirnya berbalik. Sementara itu, Yuda dengan senyuman lebarnya mengangkat paperbag berisi pesananku.
"Ayo makan!" katanya penuh semangat.
.
Danny tidak bisa mengatur ritme jantungnya setelah bertemu tatap dengan gadis di kursi roda. Danny tahu betul siapa dia. Itu Daniella! Daniella buruannya yang dulu ia cari mati-matian. Jelas, beberapa bulan terakhir ini Danny sudah melupakannya, atau lebih tepatnya dia lelah dengan ambisi pulangnya yang selama bertahun-tahun belum juga terwujud. Jadi Danny pikir daripada menantang bahaya dengan memburu Daniella yang entah masih hidup atau tidak, lebih baik dia mulai menerima apa yang ia miliki saat ini. Danny punya pekerjaan, hidupnya lumayan tenang. Tapi setelah pertemuannya dengan Daniella hari ini, segalanya menjadi berbeda. Niat untuk menjalankan misi lamanya kembali tumbuh.
Dengan pikiran yang masih belum stabil, Danny naik ke motornya. Sekali lagi ia melirik ke arah Daniella. Gadis itu didorong oleh Yuda ke dalam rumah.
Jadi ternyata kamu di sini.
Danny menghela napas. Sepertinya, dia harus melanjutkan rencana lamanya. Tidak, tidak. Ia harus membuat rencana baru yang jauh lebih baik. Dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan dan tentunya tidak boleh serampangan. Bagaimanapun Arthur sudah tahu kalau Danny berkeliaran di kota ini. Kalau sampai dia ditangkap lagi olehnya, Danny bisa tamat. Kecuali kalau dia bisa menghabisi Arthur terlebih dahulu. Kalau ternyata dia tidak sanggup melakukan kekerasan fisik, maka dia bisa mengandalkan 'ruang rahasia' Arthur untuk membuang lelaki buncit itu.[] 03/01/21 - 22.38
.
.
.
.a/n:
Finally tugas-tugasku selesai juga dan akhirnya bisa ngerasain libur yang sebenernya.
Btw ini aku hiatus 4 bulanan lebih wkwk. Aku ga tau apa kalian masih inget alur ceritanya, masih nungguin atau engga. Aku sendiri nyampe lupa ini ceritanya kayak gimana dan baru inget kemaren pas dibaca ulang, haha.
Maafin part ini pendek dulu, pemanasan, lah :)
Au revoir ! <3
KAMU SEDANG MEMBACA
One Must Die [On Going]
Misterio / Suspenso[Dark Fiction] Nel bertemu dengan orang yang persis sama seperti dirinya, nama dan begitu juga fisiknya. Lalu kehidupannya yang sepi dan tenang berubah gelap dan brutal. Karena ada sesuatu yang amat rahasia telah terjadi di masa lalunya. Nel tidak t...