🔒08

298 110 26
                                    

"MAU MATIIN LAMPU?"

"Kalo lo nggak masalah."

"Nggak sih, tapi malam ini doang." Nel terkikik lalu menekan sakelar di samping ranjang dan kamar ini pun menjadi gelap.

Malam ini, aku tidur di kamar Nel lagi. Karena, meski sehabis pesta Papa dan Mama mengecek seluruh isi rumah dan mereka tidak menemukan siapa pun, tetap saja aku takut. Sesungguhnya aku mengusulkan agar mereka menghubungi polisi atau setidak-tidaknya petugas keamanan kompleks, tetapi mereka menolak. Sebab, tak punya bukti konkret atas keberadaan orang asing misterius itu. Memangnya, bukti konkret itu harus ada? Bukankah kegelisahan kami saja sudah cukup, atau setidaknya ditambah saksi. Aku menyaksikan orang itu ada di rumahku. Tapi, aku malas berdebat. Lagipula bodohnya aku baru kepikiran hal itu sekarang.

"Good night, Ra." Nel beringsut memunggungiku.

Aku hanya menggumam, kemudian memejam, berusaha menghilangkan kesadaran secepatnya. Keadaan gelap sangat membantu tubuhku untuk menuju ke fase relaks yang sesungguhnya. Sensor biologis kita mengenali terang sebagai waktu untuk beraktivitas dan gelap untuk beristirahat. Jadi, baru beberapa saat saja, aku sudah di ambang batas antara sadar dan terlelap. Namun, suara derum mesin mobil sekonyong-konyong menggangguku.

Aku melirik Nel di samping, tubuhnya diam. Berdasarkan pengalamanku menginap di kamarnya, orang itu memang sangat mudah sekali terlelap. Telingaku menyimak derum tadi lebih jeli, semakin lama terasa semakin dekat, dan aku bisa membayangkan sebuah mobil van atau semacamnya tengah memasuki halaman rumahku. Padahal, gerbang rumah selalu dikunci. Apa jangan-jangan Papa lupa menguncinya? Ya Tuhan bagaimana bisa dia seceroboh itu setelah mengalami kejadian janggal belakangan ini?!

"Nel ...."

Dia tidak menyahut.

Derum mesin mobil berhenti. Aku tergoda untuk mengintip ke jendela dan mengamati apa yang terjadi di bawah sana, tapi jiwa penakutku mencegahnya.

BRAAK!

Suara pintu didobrak.

Aku mengguncang bahu Nel. Dia bangun, menatapku bingung.

BRAAK!

Satu gebrakan lagi.

Nel yang tengah terbaring langsung terduduk tegak. Mukanya tiba-tiba tegang, menyamai ketegangan yang kurasakan.

BRAAK! Lalu sesuatu berdebum keras ke dinding. Bayanganku membentuk citra di mana pintu utama rumah terbuka lebar, menampilkan sosok-sosok pria bertopeng khas film kriminal. Bukan main takutnya aku.

Kami tanpa banyak bicara langsung menendang selimut dan menyodokkan kaki ke sandal lantas berlari ke koridor untuk pergi ke kamar Mama.

Duk.

Duk.

Duk.

Tapi suara sepatu bot di tangga kayu membekukan kami berdua. Aku dan Nel bersitatap. Otak kami langsung terkoneksi satu sama lain. Kalau kami meneruskan perjalanan ke kamar Mama, maka ada kemungkinan kami berpapasan dengan orang yang sedang menaiki tangga. Setelah itu, kami bisa diikat, dibekap, ditembak, ditusuk, atau apa pun yang dapat menghabisi kami. Akhirnya, kami mengendap-endap mundur.

Pikiranku bergumul merangkai berbagai skenario. Aku bisa saja lari ke lantai tiga dan bersembunyi di bawah tangga. Tempat itu dilimpahi bayangan, dan ada ceruk gelap antara bawah tangga dengan laci tak berguna yang bisa saja dipakai untuk bersembunyi. Atau ke tangga darurat, tapi tangga itu akan membawaku ke luar, dan bagaimana kalau di sana aku berjumpa dengan penjahat itu? Atau aku bisa, aku ... skenario apa lagi yang bisa kudapatkan?! Tata letak rumah ini begitu kurang ajar dan tidak menguntungkan! Astaga, bahkan posisi kami berdua di sini terkepung. Haruskah kembali ke kamar dan mengunci pintu? Tapi, pintu yang terkunci justru memberitahu mereka bahwa ada orang di dalam.

One Must Die [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang