S E T A H U N K E M U D I A N ....
.
.
.
MENGUNJUNGI RUANG ICU sudah menjadi rutinitas Yuda di sela-sela kesibukannya sebagai pegawai tetap di sebuah biro arsitek meski hanya di waktu kunjungan yang telah ditentukan rumah sakit. Lelaki itu duduk di kursi samping ranjang pasien, menggenggam tangan seorang gadis yang berbulan-bulan ia harapkan untuk bangun.
"Bee?" Genggaman Yuda mengerat. "Kapan bangun?"
Sudah hari ke-341. Gadis yang ia panggil 'Bee' itu masih terbaring lemah dengan tubuh dipenuhi selang dan kabel yang menghubungkannya ke peralatan medis.
"Janji bakal bangun, ya, Bee? Kakak juga janji bakal bawa kamu jalan-jalan ke mana pun yang kamu mau."
Yuda membelai lembut rambut panjang gadis itu. Andai gadis itu sadar, pastilah ia bakalan protes dan ngotot kalau namanya adalah Daniella, bukan Bee. Nel tidak akan rela jika nama yang menurutnya keren itu diganti begitu saja. Tapi sekarang, ia cuma terpejam tenang, seolah-olah betah tertidur terus-terusan. Meski sebenarnya kata tidur sama sekali tidak tepat disematkan padanya. Itu adalah kondisi darurat medis di mana otaknya berfungsi dalam titik terendah kesiagaan yang membuatnya tak mampu merespons suara dan segala rangsangan di sekitar.
Nel mengalami hipoksemia, kekurangan oksigen akibat terlalu lama tenggelam di air sehingga kinerja otaknya terganggu. Begitu kira-kira kata dokter pada Yuda, beberapa saat setelah lelaki itu tergopoh-gopoh keluar dari ambulans dalam keadaan basah kuyup lalu mendorong ranjang tempat Nel berbaring di mana ia sudah sangat kritis dan butuh segera dibawa ke ruang ICU. Otak Nel tidak dapat mengeluarkan cairan dan zat beracun untuk keluar dari tubuh, sehingga ia mengalami penggenangan cairan di otaknya yang mengakibatkan dirinya koma hingga detik ini.
Meski sejatinya mereka tidak saling mengenal, Yuda tidak menganggap Nel sebagai orang asing. Mungkin pada awalnya iya. Dia menyelamatkan gadis itu hanya karena dorongan nurani manusiawinya semata. Dua kunjungan pertama bahkan ia lakukan hanya untuk menebus rasa tanggung jawabnya saja, tidak lebih. Ia juga semata-mata membayar biaya rumah sakit hanya karena merasa kasihan. Tapi, lama-kelamaan belas kasihan itu berubah menjadi kasih sayang yang sebenarnya. Dan kini, dia datang bukan karena ia tidak mau menjadi jahat lantaran menelantarkan anak tanpa orang tua dalam keadaan koma, tetapi karena ia ingin menyaksikan Bee-nya terbangun, melihat kedua matanya menatap Yuda sebagai orang yang pertama kali ia dapati ketika sadar.
Yuda berpaling dari wajah Nel, membuang pandangan ke kaca buram di pintu. Ia tidak tega terus-terusan melihat orang yang sudah ia anggap adik dalam kondisi separah ini selama hampir genap setahun. Nel tentu saja tak bisa bernapas normal, harus dibantu ventilator dengan selang yang memasuki tenggorokan. Makan dan minum pun mengandalkan selang nutrisi. Dulu di awal, dokter memasangkan tabung nasogastric. Namun, karena lebih dari 4 minggu dia tidak sadar-sadar, maka dokter memutuskan untuk menggantinya dengan PEG (Percutaneous Endoscopic Gastronomy) yang dimasukkan langsung ke dalam perut. Belum lagi kateter yang dipasang untuk membantunya membuang urine. Begitu menyedihkannya Nel, berada di ambang batas antara hidup dan mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Must Die [On Going]
Mystery / Thriller[Dark Fiction] Nel bertemu dengan orang yang persis sama seperti dirinya, nama dan begitu juga fisiknya. Lalu kehidupannya yang sepi dan tenang berubah gelap dan brutal. Karena ada sesuatu yang amat rahasia telah terjadi di masa lalunya. Nel tidak t...