Untuk pertama kalinya Hanna membuat susu formula untuk Maryam. Hanna sudah mencoba memberikan ASI-nya pada bayinya itu dan Maryam tetap menolaknya.
Hanna masuk ke dalam kamar dan langsung menggendong putrinya yang sedang menangis karena haus.
Dia mendekatkan dot pada bibir Maryam. Ada rasa senang ketika Maryam mulai menyedot susu formula buatannya.
"Anak pintar.." pujinya. Hanna membawa Maryam keluar kamar. Awalnya dia melihat pemandangan kota lewat jendela. Namun dia melirik ke arah kamar Fadli. Suasana hening menyelimuti apartemen, membuat Hanna heran. Karena tadi dia mendengar suara tawa Jinata dan Fadli. Dengan rasa penasaran Hanna mengintip dengan pintu yang terbuka sedikit, lalu mendorong pintu dengan kakinya agar lebih terbuka. Di sana dia mendapatkan Fadli dan Jinata tertidur sambil berpelukan.
Hanna melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul satu. Dia kembali melihat suaminya heran, dia belum salat dzuhur kan? Apa suaminya tak kembali ke rumah sakit lagi?
Ketika menyadari Maryam sudah tertidur tenang, Hanna langsung ke kamarnya dan menyimpan putrinya itu di atas ranjang.
Hanna melangkah keluar dan dia memutuskan masuk ke dalam kamar Fadli. Dia menepuk-nepuk pundak suaminya, berusaha membangunkannya.
"Abi," panggil berulangkali.
Jinata bergerak menjadi terlentang, karena merasa terusik. Dan perlahan pria itu membuka matanya.
Hanna menatap suaminya yang saat ini menampilkan senyumannya. Tampan, ia akui itu. Membuat Hanna sedikit malu dan beranjak. "Udah Dzuhur. Solat dulu! Bukannya kamu juga harus pergi ke rumah sakit?" Kata Hanna.
"Hmm..?" Jinata melamun. Dia belum bisa mencerna apa yang dikatakan istrinya. Dia mengambil ponselnya dan melihat jam. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Jihan dan perawat. Setelah itu dia tersadar dan langsung beranjak dan melangkah keluar.
Hanna mengikuti suaminya itu. Saat hendak masuk ke dalam kamar mereka Jinata terdiam dan malah berbalik menghampirinya. Tentu saja hal itu membuat Hanna menyeritkan dahinya. "Ummi udah gak marah lagi?" Tanyanya tiba-tiba dengan senyuman lebar pada bibirnya.
Diberikannya, tatapan datar pada suaminya itu. Membuat Jinata menunduk dan menghela nafas beratnya. "Masih marah ternyata," lirih Jinata sambil berbalik dan memilih masuk ke dalam kamar mereka.
Hanna tersenyum kecil dengan sikap Jinata itu. Dia memilih ke arah dapur dan akan memasak untuk makan siang.
______Setelah salat dzuhur Jinata merapikan rambutnya. Lalu dia mencium pipi putrinya sebelum keluar kamar.
Dilihatnya Hanna sedang berada di dapur. "Ummi, aku pergi dulu.. assalamu'alaikum," katanya dengan sedikit mengencangkan suaranya. Hanna tak menyahutnya. Lebih baik Jinata segera pergi.
Suara nada dering ponselnya terdengar saat Jinata masuk ke dalam mobilnya. Dia mengangkat teleponnya sambil menyalakan mobil.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Bapak Jinata kau dimana? Susah sekali dihubungi!! Kau gila apa?" Jinata sedikit menjauhkan ponselnya dari telinganya. Jihan memarahinya.
"Hm.. aku di rumah dan malah ketiduran.. bagaimana kondisi Pak Herlan sekarang?" Tanya Jinata menanyakan kondisi pasiennya. Itu alasan Jihan meneleponnya dan mengirim pesan padanya.
"Entahlah, sekarang beliau sedang dioperasi oleh Pak Yudha. Dan lihat saja saat di rumah sakit, kau pasti dimaki habis-habisan."
______Suasana malam kota yang ramai, tapi suasana hati Jinata sedang sepi. Di rumah sakit dia tegur oleh pamannya, oleh sahabatnya sendiri dan keluarga pasien yang ditanganinya. Lalu saat sore tadi dia harus mengoperasi
KAMU SEDANG MEMBACA
HEART GAME 3 : not me, but you (Completed) (Finale)
SpiritualCeritanya enggak recomended buat kamu yang perfect. Bukan kisah cinta bahagia, yang terpikirkan oleh semua orang. Perjalanan pernikahan yang dihiasi dengan lika-liku. Ada masanya ingin berhenti dan meninggalkan semuanya. Jinata Alam, seorang suami...